Perempuan yang Mengukir Sejarah Kepemimpinan

| PENAMARA . ID

Sabtu, 14 Juni 2025 - 03:48 WIB

facebook twitter whatsapp telegram copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon copy

URL berhasil dicopy

Ratu Shima, Perempuan yang Membawa Masa Keemasan bagi Kerajaan Kalingga | Sumber: RadarPurworejo.JawaPos.com

Ratu Shima, Perempuan yang Membawa Masa Keemasan bagi Kerajaan Kalingga | Sumber: RadarPurworejo.JawaPos.com

Kita mungkin sangat akrab dengan kalimat “perempuan tidak bisa menjadi pemimpin yang baik karena perempuan berpikir dan mengambil keputusan berdasarkan hari, beda hal dengan laki-laki yang berdasarkan logika”; atau “kamu perempuan, ngampain mau jadi pemimpin, mending masak saja sana di dapur”.

Stereotip terhadap perempuan seperti kalimat diatas seakan menjadi ‘label’ yang melekat dalam diri perempuan sehingga berdampak pada ketimpangan gender atas perempuan untuk menjadi pemimpin dan berkiprah di lingkungan yang lebih luas. Padahal di zaman sekarang, stereotip tersebut sangat mungkin untuk dihapuskan.

Pernah di salah satu ruangan Coffee Shop, saya mendengar suara yang lumayan lantang masuk dalam telinga saya ’’Perempuan jadi pemimpin sukanya melibatkan hati, jadi gabisa karena ujung-ujungnya baper.’’ Begitu kata salah satu laki-laki dalam gerombolan yang kebetulan satu ruangan dengan saya. Kebetulan yang tidak mengenakkan di telinga.

Kemudian ingatan saya langsung terlempar pada beberapa bacaan yang menceritakan tentang sejarah leluhur bangsa. Entah mereka mungkin lupa (atau bahkan tidak tahu), bahwa dulu pada abad 13-14 Masehi ada kerajaan besar yang terletak di Jawa bagian timur bernama Majapahit, saya yakin kalian tidak asing dengan kerajaan satu ini, tetapi mungkin hanya sedikit yang tahu bahwa kerajaan besar ini pernah dipimpin oleh seorang perempuan, ia bernama Dyah Gitarja dengan gelar penobatan ’Sri Tribhuwana Wijayatunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani’. Ia merupakan ibunda dari Maharaja Hayam Wuruk.

Konon Tribhuwana menjadi raja ke-3 Majapahit mewakili ibundanya, Rajapatni Gayatri, yang memilih untuk menjadi biksuni, sehingga Tribhuwana yang naik takhta sebagai Ratu, menjadi pemimpin kerajaan perempuan pertama dalam kerajaan Majapahit dan dalam silsilah Wangsa Rajasa. Selain menjadi pemimpin yang baik dan disegani, ia juga tertatih-tatih untuk mengembangkan kerajaannya, menumpas beberapa pemberontakan, dan mengambil tindakan yang dianggap tepat sehingga saat putranya naik takhta Majapahit sudah dalam keadaan stabil dan mencapai puncak kejayaannya. Sekali lagi, puncak kejayaan Majapahit ini tidak lepas dari peran Tribhuwana serta ibundanya, Rajapatni Gayatri dalam mengambil keputusan yang bijak.

Jika ditarik lagi keatas, jauh sebelum berdirinya kerajaan Majapahit, ada kerajaan Ho-ling atau Kalingga, terletak di Jawa bagian tengah (diperkirakan daerah Jepara sekarang) sekitar abad 6-7 Masehi, juga pernah dipimpin oleh seorang ratu yang terkenal akan keadilannya, yakni Ratu Shima. Ia merupakan satu-satunya perempuan yang menjadi pemimpin kerajaan Kalingga, dan juga pemimpin perempuan kerajaan pertama di Nusantara. Ia naik takhta menggantikan suaminya yang meninggal. Ia amat dicintai rakyatnya karena sikap keras dan tegasnya untuk memberantas kejahatan, serta mengajarkan rakyatnya agar berlaku jujur.

Berdasarkan catatan dari Dinasti Tang, pada masa kepemimpinannya kerajaan Kalingga berada dalam kondisi yang sangat aman, mencapai puncak kejayaan, serta rakyatnya hidup makmur dan tentram. Ratu Shima membuat sebuah undang-undang atau pedoman hukum dan sistem sosial kerajaan yang bernama Kitab Kalingga Dharma Sastro. Kitab inilah yang menjadi pedoman rakyat Kalingga dalam membangun peradaban saat itu, dan gebrakan ini diprakasai oleh seorang perempuan, karena raja sebelumnya tidak ada yang berbuat demikian.

Saking terkenalnya akan kejujuran rakyat Kalingga, konon ada cerita bahwa seorang raja asing pernah meletakkan kantung yang berisi emas di tengah persimpangan jalan dekat alun-alun ibu kota Kalingga, sang raja berniat untuk menguji apa yang didengarnya tentang kerajaan Kalingga. Tidak seorangpun berani menyentuh kantung itu, hingga suatu ketika seorang putra Ratu Shima tidak sengaja menyentuh kantung itu dengan kakinya. Lalu apa yang terjadi? Ratu Shima menjatuhkan hukuman mati untuk putranya, akan tetapi para menteri kerajaan memohon agar Ratu Shima mengampuni pangeran, dan diperoleh keputusan akhir yakni karena kaki pangeran yang menyentuh kantung yang bukan miliknya itu, maka Ratu Shima menjatuhkan hukuman untuk memotong kaki pangeran.

Dibelahan dunia lain, yakni di Inggris, sejak dulu sudah lumrah dengan kepemimpinan perempuan, salah satunya adalah Ratu Elizabeth I, yang memerintah Inggris selama 45 tahun dan tidak pernah menikah sepanjang hidupnya, sehingga dijuluki Virgin Queen. Salah satu prinsip kepemimpinannya adalah menolak perang meski terkadang hal itu sebenarnya sangat dibutuhkan. Ia memilih untuk tidak melawan mereka, tapi menjadikan mereka sebagai partner. Ia amat diplomatis dan selalu berupaya untuk meminimalkan terjadinya konfrontasi yang berujung dengan kekerasan, setiap konflik yang ada diupayakan untuk diselesaikan secara damai, salah satu buktinya adalah terciptanya perjanjian Edinburgh.

Ratu Elizabeth I juga mampu meredam konflik perpecahan agama dengan menerbitkan undang-undang tentang supremasi dan persamaan yang di-sah-kan pada tahun 1559 Masehi, sehingga ditetapkannya Anglican sebagai agama resmi Inggris. Dengan tangan dingin ia mampu membawa Inggris menjadi negara yang lebih menyukai perdamaian. Menurutnya, untuk mencapai puncak kejayaan tak harus banyak mengorbankan rakyat dengan pertumpahan darah dan hanya menjadikan rakyat sebagai tumbal, namun hal itu bisa ditempuh dengan cara damai.

Selanjutnya, ada Ratu Elizabeth II yang paling lama bertakhta di Inggris yakni selama 70 tahun (1952-2022 Masehi). Pamornya yang kuat dan bijaksana membuat Ratu Elizabeth II amat disegani di seluruh dunia. Ia juga ikut berkontribusi dan menjadi pelindung lebih dari 500 badan amal dan layanan publik karena tingkat toleransinya sangat tinggi dan suka mengulurkan tangannya untuk membantu sesama. Selama bertakhta, ia dilayani oleh 15 perdana menteri Inggris dalam menjalankan pemerintahannya, salah satu perdana menteri perempuan pertamanya adalah Margaret Thatcher dengan jabatan terlama yakni sebelas tahun.

Margaret Thatcher dijuluki sebagai wanita besi atau iron lady, julukan ini muncul dari salah satu wartawan militer Uni Soviet, Kapten Yuri Gavrilov, karena konsistensi perlawanan Margareth Thatcher terhadap rezim Uni Soviet pada tahun 1976 Masehi. Ia terpilih menjadi perdana menteri wanita pertama Inggris sehingga namanya dikenal dan dikenang publik. Dalam suatu kesempatan, ia pernah berkata ’’Di dunia politik, jika anda menginginkan semuanya dikatakan, pilihlah seorang laki-laki, namun jika anda meminta semua hal dilakukan, pilihlah perempuan.’’ Ungkapannya tersebut menegaskan bahwa perempuan juga punya kelebihan yang tidak bisa dikesampingkan atau diannggap remeh.

Belum selesai ingatan saya terputar pada sosok para perempuan hebat diatas, lagi-lagi salah seorang laki-laki dari gerombolan yang sama itu berucap, ’’Dalam Al-Qur’an sudah disebutkan yang pantas jadi pemimpin itu laki-laki.’’ Karena sedikit kaget dengan suara serta isi ucapannya, saya memperhatikannya, sambil memikirkan ayat mana yang diambil sebagai landasan dari ucapannya itu. Padahal kalau mengambil surat An-Nisa’ sebagai landasan, ada surat Saba’ yang menceritakan kisah pemimpin perempuan, Ratu Balqis, yang memimpin kerajaan besar saat itu. Bukankah Al-Qur’an juga mengisyaratkan bahwa peran perempuan dalam kepemimpinan bukan hal yang tabu?

Sebenarnya perlu diingat mana yang murni sebagai dasar agama Islam dan mana yang merupakan buah pikir manusia. Dasar agama Islam adalah Al-Quran dan Hadits, sedangkan ilmu lainnya terlahir dari buah pikir manusia termasuk salah satunya adalah tafsir. Hasil ijtihad atau pemikiran ulama bisa berubah sesuai perkembangan zaman, tafsir tiap individu bisa saja berbeda seiring dengan cara pandang yang berbeda pula. Sedangkan apa-apa dalam Al-Qur’an bersifat absolut. Saya yakin Al-Qur’an sarat akan nilai persaudaraan, kesetaraan, dan keadilan. Hasil penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang dinilai bias gender perlu dikaji dan dibaca ulang dengan melihat Azbabun Nuzul serta kondisi lingkungan dan sosial budaya saat itu.

Saya pernah membaca terobosan yang dilakukan oleh Amina Wadud, ia menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dari perspektif perempuan. Menurutnya, kebanyakan tafsir ditulis oleh laki-laki, sehingga dalam menafsirkan Al-Quran prespektif, tujuan, politik dan sosial budaya akan mempengaruhi hasil penafsiran yang berbeda dengan penafsiran oleh perempuan. Berdasarkan kondisi saat ini, Amina Wadud yakin bahwa dengan sifat Al-Qur’an yang universal menjadikannya mampu beradaptasi dengan tuntutan zaman modern. Amina Wadud sangat gencar menyuarakan keadilan atas perempuan baik dalam bentuk pemikiran maupun tindakan. Saya juga belajar banyak darinya, terutama tentang Islam dan perempuan.

Dalam perjalanan sejarah dunia peran dan pengaruh perempuan tidak bisa dipandang sebelah mata. Terbukti, pada kenyataannya sejarah telah mencatat banyak kiprah para perempuan hebat, pemimpin yang adil dan bijaksana serta dapat mengubah peradaban dunia, meski tidak dapat dipungkiri nama-namanya sering tenggelam atau bahkan sengaja ditutupi. Lantas apakah para perempuan seperti yang saya sebutkan diatas yang dianggap oleh mereka masih tidak pantas menjadi pemimpin hanya karena perempuan cenderung menggunakan hatinya atau ‘baper’? Jika saya balik bertanya, bagaimana jika laki-laki memimpin tidak menggunakan hati? Sebut saja Hilter, pimpinan Nazi Jerman, pembantaian terkeji sepanjang sejarah umat manusia. Apakah pemimpin seperti itu yang mereka agungkan, yang akan mereka contoh untuk menjadi panutan dalam memimpin?

Menurut riset dari lembaga McKinsey tahun 2018-2021, diperoleh hasil bahwa kepemimpinan perempuan mampu menciptakan organisasi yang lebih sehat, egaliter, serta menghasilkan keputusan yang komprehensif dan inklusif karena melihat dari berbagai aspek. Lagipula apakah dalam Al-Qur’an Allah pernah berfirman ’’Wahai perempuan-perempuan yang beriman, janganlah kamu sekalian menjadi pemimpin, serta sebaik-baiknya tempat bagi kalian adalah di dapur, di sumur dan di kasur.’’ atau kalimat-kalimat yang menyerupai itu? Jika tidak ada, mengapa kalian seakan terancam dengan kepemimpinan perempuan dan menganggap hal tersebut keliru? Jika Allah saja tidak memberikan batasan seperti itu, mengapa manusianya yang malah berlagak seperti-Nya?

Dalam tulisan ini, saya hanya ingin berbagi apa yang saya baca, serta sedikit apa yang saya pikirkan. Saya menulis tulisan ini juga bukan semata untuk menghilangkan jerat patriarki dalam diri kalian, karena percuma patriarki hilang kalau jatuhnya malah matriarki. Tujuan saya menulis tulisan ini adalah untuk mengembalikan konsep keadilan dan kesetaraan yang dibawa oleh Al-Qur’an serta ajaran agama lainnya yang sesuai dengan hak kemanusiaan lewat kisah para perempuan diatas, bahwa perempuan setara dengan laki-laki, perempuan juga punya kesempatan, peluang dan akses yang sama dengan laki-laki, tidak membatasi perempuan untuk menjadi pemimpin, dan tidak juga membatasi tentang bagaimana ‘seharusnya’ mereka (perempuan) hidup. Siapapun manusia bisa menjadi pemimpin, sebagai khalifah di bumi, tidak ada diskriminasi jenis kelamin maupun yang lainnya.

Artikel Lain :

Refleksi Hari Kartini; Perempuan, Emansipasi, dan Jalan Revolusi Sosial

Menjajaki Jalan Terjal Konsep ‘Sarinah’; Kembali kepada Patriarki?

Keterwakilan Perempuan yang Tidak Pernah Mewakili Perempuan; Sebuah Ide Paradoks?

Penulis : Rini Sulfatun Nisak

Editor : Alda

Berita Terkait

Refleksi Peran Pemuda dalam Sejarah: Belajar dari Era 50-an hingga Revormasi
Revolusi Hijau dan Multikulturalisme Pangan
76 Tahun Tan Malaka Pergi, Madilog Tetap Hidup
100 Tahun Pramoedya Ananta Toer: Jejak Revolusi, Karya, dan Perjuangan
Pesan Pramoedya Ananta Toer kepada Anak Muda
20 Tahun Dalang Pembunuhan Munir Tak Tersentuh
Vivere Pericoloso: Amanat Bung Karno untuk Membentuk Keberanian Generasi Z
Kudatuli Catatan Kelam yang Belum Menemukan Titik Terang
Berita ini 68 kali dibaca

Berita Terkait

Sabtu, 14 Juni 2025 - 03:48 WIB

Perempuan yang Mengukir Sejarah Kepemimpinan

Senin, 17 Maret 2025 - 18:07 WIB

Refleksi Peran Pemuda dalam Sejarah: Belajar dari Era 50-an hingga Revormasi

Sabtu, 8 Maret 2025 - 01:45 WIB

Revolusi Hijau dan Multikulturalisme Pangan

Jumat, 21 Februari 2025 - 19:04 WIB

76 Tahun Tan Malaka Pergi, Madilog Tetap Hidup

Kamis, 6 Februari 2025 - 23:51 WIB

100 Tahun Pramoedya Ananta Toer: Jejak Revolusi, Karya, dan Perjuangan

Berita Terbaru

Daerah

Tunjangan DPRD Naik, GMNI Kota Tangerang Angkat Bicara

Minggu, 7 Sep 2025 - 17:37 WIB