PENAMARA.ID | Jakarta – Pemerintah resmi menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%, dan berlaku efektif mulai 1 Januari 2025. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara guna mendukung program pembangunan jangka panjang dan stabilitas ekonomi.
Mesti sebagai bentuk ketaatan regulasi dan upaya meningkatkan penerimaan negara dalam mendukung ekonomi, dampak terhadap daya beli masyarakat dan sektor usaha tidak dapat diabaikan. Mitigasi oleh pemerintah harus dilakukan secara teliti demi mengurangi dampak negatif terhadap masyarakat dan sektor usaha.
Latar Belakang Kenaikan PPN
Kenaikan tarif PPN merupakan bagian dari implementasi Undang-Undang Hormonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) Nomor 7 yang disahkan sejak 2021.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, penerimaan PPN pada 2023 mencapai Rp 718 triliun, baik 20% dibandingkan tahun sebelumnya. Dengan kenaikan tarif ini, pemerintah menargetkan tambahan penerimaan sebesar 70-90 triliun pada 2025.
Menurut Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani, kebijakan ini diambil untuk memperkuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk menstimulasi perekonomian melalui berbagai paket kebijkan ekonomi dalam meningkatkan kesejahteraan.
“Keadilan adalah dimana kelompok masyarakat yang mampu akan membayar pajaknya sesuai dengan kewajiban berdasar Undang-Undang, sementara kelompok masyarakat yang tidak mampu akan dilindungi bahkan diberikan bantuan. Di sinilah prinsip negara hadir,” ungkap Menkeu dalam Konferensi Pers bertajuk “Paket Stimulus Ekonomi untuk Kesejahteraan” yang dilaksanakan di Jakarta, pada Senin (16/12).
Dalam Kenaikan PPN bagi Masyarakat
Dengan kenaikan PPN menjadi 12% sejumlah harga barang dan jasa diperkirakan mengalami penyesuaian. Berikut simulasi dampak kenaikan:
- Sebelum kenaikan PPN: Harga produk Rp 100.000 dikenaikan PPN 11% menjadi Rp 111.000.
- Setelah kenaikan PPN: Harga produk yang sama akan dikenakan tarif 12% menjadi Rp 112.000.
Meskipun kenaikan terlihat kecil, dampaknya bisa terasa signifikan jika diterapkan pada barang kebutuhan sehari-hari, seperti elektronik, pakaian, dan jasa transportasi.
Reaksi Pelaku Usaha
Kebijakan ini memicu beragam tanggapan dari pelaku usaha. Sebelumnya Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia (Periode 2021-2026), Arsjad Rasjid meminta pemerintah menunda implementasi kenaikan tarif PPN.
Arsjad menyampaikan kenaikan ini mesti dipertimbangkan kembali dengan melihat kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat secara terkini hari ini, jika berdasarkan pada putusan di tahun 2021 jelas berbeda kondisinya.
“Kami menyarankan kepada pemerintah untuk menunda PPN 12%, karena kalau PPN itu langsung (berdampak) kepada konsumen, langsung berkaitan pada dunia usaha dan masyarakat,” ungkap Arsjad dalam Jumpa Pers Rapat Pimpinan Nasional Kadin 2024, pada Jumat (29/11) di Jakarta.
Upaya Menurunkan Dampak
Sementara itu, untuk mengurangi beban masyarakat, kenaikan PPN hanya berlaku hanya pada barang dan jasa tertentu, di antaranya: layanan kesehatan kategori VIP atau premium, lembaga pendidikan dengan biaya tinggi atau jasa pendidikan premium sejenis.
Penulis : Yacob Munthe
Editor : Redaktur