Oleh: Santo Nainggolan
Pendapat – Dinamika politik dan kekuasaan semakin jelas dipertontonkan oleh para pejabat negara, termasuk di Kota Tangerang. Dalam satu tahun terakhir, sejak kehadiran Penjabat (Pj) Wali Kota Tangerang, Dr. Nurdin, tampak ada upaya terstruktur dan masif dari para pejabat Kota Tangerang untuk membangun kekuatan politik demi kepentingan kelompok mereka.
Sayangnya, upaya ini terlihat tidak sejalan dengan penegakan aturan dan integritas, mengingat tidak adanya tindakan tegas (punishment) dari Pj Wali Kota terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh kepala dinas di Kota Tangerang.
Sejumlah kasus yang melibatkan kepala dinas menjadi sorotan publik. Contohnya, mantan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang, yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus kelalaian pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Rawa Kucing, masih menjabat sebagai Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB).
Begitu pula dengan Kepala Dinas Pendidikan Kota Tangerang yang viral di media sosial karena diduga memberikan uang untuk mendukung salah satu pasangan calon wali kota. Selain itu, Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan SDM, serta Kepala Dinas Perumahan, Permukiman, dan Pertanahan (Perkim) Kota Tangerang juga diduga terlibat dalam penyelewengan dana pembangunan RSUD Kota Tangerang.
Dalam konteks ini, teori “vetokrasi” yang disampaikan oleh Fukuyama (2018) relevan untuk menggambarkan situasi ini. Vetokrasi adalah kemampuan kelompok kepentingan untuk memblokir tindakan kolektif masyarakat. Di Kota Tangerang, aspirasi kolektif masyarakat, khususnya dari para aktivis dan mahasiswa, kerap dibungkam oleh segelintir elit.
Berbagai cara digunakan untuk meredam kritik, termasuk merangkul aktivis dan mahasiswa ke dalam lingkaran konspirasi proyek atau kegiatan. Vetokrasi juga terlihat dalam praktik legislasi yang semrawut dan penggunaan narasi kekuasaan untuk membangun konspirasi.
Ketidakmampuan atau keengganan Pj Wali Kota Tangerang untuk menjatuhkan sanksi disiplin kepada ASN yang melanggar aturan semakin memperkuat iklim korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Padahal, Surat Edaran (SE) Nomor 821/5492/SJ tertanggal 14 September 2022 yang diteken oleh Mendagri Tito Karnavian memberikan kewenangan kepada Pj kepala daerah untuk memberikan sanksi disiplin, menindaklanjuti proses hukum, serta melakukan mutasi antar daerah dan instansi.
Tanpa penegakan hukum yang tegas, praktik penyalahgunaan jabatan akan terus tumbuh subur di Kota Tangerang. Harapannya, wali kota yang terpilih di masa mendatang dapat menjalankan amanah yang diberikan oleh warga Kota Tangerang.
Mereka diharapkan tidak hanya memperbaiki tata kelola pemerintahan, tetapi juga berfokus pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kota Tangerang membutuhkan pemimpin yang berani, transparan, dan memiliki integritas untuk membawa perubahan nyata.
Artikel Lain : Amnesti Koruptor, Kesadaran atau Kepanikan?
Penulis : Santo Nainggolan
Editor : Ari Sujatmiko






