PENAMARA.id — Siapa dari kita yang tak mengenal Fadli Zon? Mantan aktivis ’98 yang cukup populer bahkan sampai hari ini. Kiprah terjang nya di dunia aktivis membuat Fadli masuk ke dalam nama-nama aktivis yang taka sing terdengar di telinga kita semua. Sepak karir politik Fadli bermulai pada tahun 1997-1999 sebagai anggota MPR RI. Ia juga aktif sebagai kader partai yang dibentuknya bahkan masih menjabat sebagai wakil ketua partai Gerindra dari tahun 2008 silam.
Beberapa waktu lalu, bahkan sampai hari ini, Fadli Zon masih menjadi seputar perbincangan karena wawancaranya besama IDN. Times terkait dengan penulisan ulang sejarah bangsa Indonesia. Dalam wawancaranya, Fadli menyebutkan bahwa perkosaan massal yang terjadi pada Mei 1998 adalah sebuah rumor. Padahal, Komnas Perempuan pada saat itu membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta atau TGPF untuk peristiwa kerusuhan Mei 1998.
Penolakan terhadap fakta bahwa kasus pemerkosaan massal yang terjadi dalam bulan Mei tahun 1998 ini sebenarnya menimbulkan beragam pertanyaan terhadap Fadli Zon, seakan Fadli adalah seorang awam yang tak tahu menahu tentang kasus kekerasan terhadap perempuan (pemerkosaan) ini. Menurut data laporan dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk peristiwa kerusuhan Mei 1998 sangat terang benderang menjelaskan bahwa kasus yang terjadi pada saat itu ternyata cukup dimobilisasi orang sekelompok orang yang bukan dari peserta aksi massa.
Ini menunjukan bahwa peristiwa yang terjadi sebenarnya bukan sekedar rumor, tetapi tersusun secara sistematis dan masif. Korban paling banyak adalah perempuan ber-etnis Tinghoa dan pola kekerasan yang terjadi berada pada titik atau tempat dimana wilayah-wilayah tersebut adalah wilayah yang memang ditinggali atau dihuni oleh orang-orang yang ber-etnis Tionghoa. Lagi-lagi, tubuh perempuan selalu direduksi sedemikan rupa sehingga selalu dijadikan sebagai alat kekerasan oleh kelompok-kelompok yang tidak bertanggung jawab.
Penolakan terhadap pemerkosaan massal yang terjadi sebenarnya juga menunjukan ketidakpedulian dan sangat nirempati nya seorang Fadli Zon yang padahal dia sendiri adalah mantan seorang aktivis ’98. Permohonan maaf pun kepada seluruh perempuan Indonesia tak pernah terfikirkan di dalam benak nya Fadli Zon sehingga ia tetap merasa besar dan benar bahwa kasus pemerkosaan yang terjadi bukanlah kasus pemerkosaan massal. Ia sama sekali tidak mencabut pernyataannya yagn menyebutkan bahwa kasus pemerkosaan itu tidak dilakukan secara massal. Padahal, disaat yang bersamaan, genosida sedang terjadi.
Kekerasan yang terjadi terhadap perempuan Tinghoa pada Mei 1998 sebenarnya bukan yang pertama kali. Kasus kekerasan terhadap perempuan pernah terjadi pada tahun 1963 dengan tragedi kerusuhan anti tionghoa di Bandung, tahun 1965 pada saat pergantian kekuasaan dari Sukarno ke Suharto dimana pembantaian terjadi dimana-mana, dan 1998 pada saat kerusuhan Mei di masa-masa peralihan kekuasaan pula. Beberapa peristiwa ini menunjukan bahwa kerusuhan yang terjadi sebenarnya menyasar pada kelompok-kelompok minoritas seperti etnis Tionghoa dan perempuan.
Penyangkalan yang dilakukan oleh Fadli Zon menimbulkan luka begitu dalam terutama bagi para korban pemerkosaan Mei ’98. Ini betul-betul menunjukkan bahwa Fadli Zon, selaku Menteri Kebudayaan sangat amat tidak menujukkan kepedulian terhadap peristiwa genosida yang terjadi pada kurun waktu tersebut, atau bisa jadi ia juga tidak memiliki kepekaan terhadap kasus-kasus lain yang berhubungan dengan kekerasan terhadap perempuan.
Padahal, “pemerkosaan massal” bukanlah sebuah pernyataan berlebihan. Ratusan perempuan mengalami pemerkosaan di beberapa kota pada waktu yang hampir bersamaan, sering kali dalam serangan kelompok. Fadli Zon harus mencabut pernyataannya secara terbuka dan meminta maaf kepada para korban dan penyintas—khususnya kepada semua korban yang mengalami kekerasan seksual, serta semua perempuan Indonesia yang bersolidaritas dengan mereka hari ini.
Pada akhirnya, kita harus terus bersuara tentang kasus pemerkosaan Mei 1998 ini. Semakin keras dan semakin lantang, karena Pemerintah kita sedang menutup mata, hati, dan telinga nya terhadap kasus genosida yang terjadi ini. Semua ini sebagai sebuah pengingat dan penguat, bahwa Indonesia memiliki preseden buruk terhadap kasus pemerkosaan, terlebih dilakukan secara massal. Jika peristiwa dilakukan secara massal, sudah dapat dipastikan ia tersusun secara terencana, sistematis, dan masif.
Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa Kerusuhan Mei 1998
Artikel Lain: Ahmad Dhani dan Naturalisasinya: sebuah Keblingeran?
Penulis : Agnes Monica
Editor : Redaktur