PENAMARA.id — Satu tahun sudah pemerintahan Prabowo & Gibran berjalan sejak dilantik pada tanggal 20 Oktober 2024. Euforia politik dan narasi semata dengan “memperbaiki dan melanjutkan” warisan Jokowi menjadi benang merah kampanye mereka. Kini, publik menuntut bukti sampai sejauh mana retorika menyala berubah menjadi kinerja nyata.
Dalam perjalanannya, ternyata semua janji itu hanya menguap menjadi slogan kosong. Pemerintah tampak sibuk mempertahankan citra dan elektabilitas, bukan memperjuangkan substansi pada kesejahtaraan rakyat. Program andalan seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) hanya dijadikan simbol populisme, bukan tentang kebijakan gizi nasional yang matang.
Realisasi Makan Bergizi Gratis (MBG) tidak luput dari sebuah masalah yang kini menjadi sorotan publik dengan segudang permasalahan seperti kualitas makanan yang tidak sesuai standar gizi atau bahkan tidak layak konsumsi, isu keamanan dan kehalalan pangan, serta keracunan makanan yang terjadi di beberapa daerah.
Bukan hanya Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi program populis, kini “Koperasi Desa Merah Putih” juga memiliki kesamaan cara dengan dikemas melalui retorika heroik. Implementasinya dinilai lebih seremonial daripda substansi. Purworejo menjadi 1 fenomena dengan kegagalan sistem Koperasi Merah Putih yang tidak berjalan dengan adanya penolakan Kepala Desa.
Penolakan pembentukan Koperasi Desa Merah Putih di Purworejo dinilai memiliki kebijakan yang tumpang-tindih, potensi penyerobotan dana desa, dan kurangnya komunikasi. Penolakan ini dinilai terjadi karena sebagian besar terkait dengan masalah komunikasi. Ini juga turut memperlihatkan bagaimana bobroknya komunikasi birokrasi.
Prabowo datang dengan klaim “melanjutkan yang baik, memperbaiki yang kurang.” Namun dalam praktik, pemerintahan ini tidak melanjutkan dengan visi, melainkan mengulang tanpa refleksi. Hilirisasi yang diwarisi dari Jokowi tetap berjalan, tapi tanpa koreksi pada kerusakan yang ada.
Satu tahun pemerintahan ini bukan perjalanan dari janji ke realisasi, tetapi dari retorika ke ilusi. Program populis sama sekali tak menjawab akar persoalan sepert reformasi birokrasi yang tak bergerak karena arah pembangunan yang kehilangan ruh. Prabowo–Gibran seolah ingin menulis sejarah baru Indonesia, namun yang mereka hasilkan baru bab pembuka tentang stagnasi.
Dalam setahun ini, Prabowo–Gibran belum mampu membuktikan bahwa mereka membawa perubahan berarti.
Retorika besar tentang kemandirian dan kesejahteraan masih tertinggal di podium kampanye. Bila kebiasaan ini terus berlanjut, sejarah mungkin akan menilai periode mereka bukan sebagai masa kebangkitan nasional, melainkan masa kehilangan arah nasional.
Baca lagi tentang Satu Tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran: Satu Tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran: Ekonomi Tumbuh, Alam Runtuh
Penulis : Kriston Haluya Situmorang
Editor : Redaktur