76 Tahun Tan Malaka Pergi, Madilog Tetap Hidup

| PENAMARA . ID

Jumat, 21 Februari 2025 - 19:04 WIB

facebook twitter whatsapp telegram copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon copy

URL berhasil dicopy

Tan Malaka dan bukunya Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika).

Tan Malaka dan bukunya Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika).

Ketika Tan Malaka Menulis Madilog dan Mengenang 76 tahun gugurnya Tan Malaka Pemikir yang Melampaui Zamannya. Ibrahim Datuk Tan Malaka atau yang biasa di kenal Tan Malaka bukan sekadar pejuang kemerdekaan. Ia adalah seorang pemikir revolusioner yang ide-idenya melampaui batas ruang dan waktu.

Salah satu warisan intelektual terbesarnya, Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika), lahir di tengah situasi yang jauh dari Kenyamanan : pelarian, kejaran tentara Jepang, tanpa akses pustaka, dan tekanan psikologis yang tak terbayangkan. Namun, dari kondisi serba terbatas itu, Tan Malaka tetap berhasil menyusun sebuah karya yang hingga kini masih relevan.

76 tahun setelah kepergiannya, pertanyaan ini tetap mengemuka: Bagaimana kisah di balik penulisan Madilog? Mengapa buku ini begitu penting?

Pelarian yang Melahirkan Pemikiran Besar

Proses penulisan Madilog dimulai pada 15 Juli 1942 dan rampung pada 30 Maret 1943. Meski begitu, perjalanan menulisnya tak mulus. Ada jeda 15 hari ketika Tan harus berpindah tempat demi menghindari kejaran tentara Jepang. Untuk menyamarkan identitasnya, ia menggunakan nama samaran “Ilias Hussein.” Risiko tertangkap bukan sekadar ditahan nyawa menjadi taruhannya.

Hidupnya saat itu adalah rangkaian pelarian. Setiap langkah harus diperhitungkan, setiap jejak harus dihapus. Demi keselamatan, Tan bahkan terpaksa membuang buku-buku dan catatan yang selama ini menjadi referensinya ke laut. Meski begitu, daya ingatnya yang luar biasa memungkinkan ia menyusun argumen-argumen Madilog dengan tajam dan mendalam. Hasilnya? Sebuah karya yang mengajak pembacanya berpikir secara rasional, sistematis, dan kritis.

Menggugat Cara Berpikir yang Usang.

Pada masa itu, sebagian masyarakat masih terbelenggu oleh kepercayaan mistis: penjajah akan dihukum di alam lain, hidup yang lebih baik akan datang tanpa usaha, dan penyakit bisa sembuh melalui mantra. Tan Malaka menentang pola pikir seperti ini. Lewat Madilog, ia memperkenalkan tiga pilar utama:

Materialisme : Berpikir berdasarkan fakta.

Dialektika : Proses perubahan melalui kontradiksi.

Logika : Sistematika berpikir yang benar.

Menurut Tan, merdeka secara politik tak cukup. Bangsa ini perlu merdeka dalam cara berpikir. Ia ingin agar rakyat Indonesia mampu membedakan antara keyakinan tanpa dasar dengan pemahaman yang bersandar pada realitas.

Kontroversi dan Relevansi yang Tak Pernah Padam

Ironisnya, Madilog sempat dilarang pada era Orde Baru. Alasannya? Buku ini dianggap menyebarkan paham komunisme. Padahal, lebih dari sekadar ideologi politik, Madilog adalah ajakan untuk menggunakan akal sehat. Sayangnya, stigma yang dilekatkan membuat banyak orang enggan membaca apalagi memahami isinya.

Namun, seiring waktu, publik mulai melihat Madilog dari perspektif yang lebih adil. Buku ini bukan sekadar warisan sejarah; ia adalah panduan berpikir kritis yang tetap relevan di era digital ini, di mana banjir informasi sering kali membuat kita lupa memeriksa kebenaran.

Kenapa Kita Harus Membaca Madilog Hari Ini?

76 tahun telah berlalu sejak Tan Malaka gugur, namun pertanyaan-pertanyaannya tentang keadilan, kebebasan, dan cara berpikir sehat masih menjadi PR besar bagi bangsa ini. Dalam menghadapi hoaks, fanatisme buta, dan polarisasi yang menggerogoti nalar publik, Madilog bisa menjadi pelita.

Membaca Madilog bukan hanya mengenang Tan Malaka, tetapi juga berani menantang diri sendiri untuk berpikir lebih kritis, lebih jernih, dan lebih berani menghadapi kenyataan. Sebab, seperti yang Tan Malaka ajarkan: “Berpikir adalah kerja keras, tetapi itulah yang membedakan manusia dari binatang.”

Hari ini, mari kita tak hanya mengenang Tan Malaka sebagai pahlawan yang gugur. Ingatlah ia sebagai pemikir yang mengajak kita berpikir. Karena kemerdekaan sejati bukan hanya soal lepas dari penjajahan, tetapi juga terbebas dari kebodohan.


Artikel Lain : 100 Tahun Pramoedya Ananta Toer meninggalkan Jejak Revolusi, Karya, dan Perjuangan

Penulis : Ari Sujatmiko

Editor : Redaktur

Berita Terkait

Perempuan yang Mengukir Sejarah Kepemimpinan
Refleksi Peran Pemuda dalam Sejarah: Belajar dari Era 50-an hingga Revormasi
Revolusi Hijau dan Multikulturalisme Pangan
100 Tahun Pramoedya Ananta Toer: Jejak Revolusi, Karya, dan Perjuangan
Pesan Pramoedya Ananta Toer kepada Anak Muda
20 Tahun Dalang Pembunuhan Munir Tak Tersentuh
Vivere Pericoloso: Amanat Bung Karno untuk Membentuk Keberanian Generasi Z
Kudatuli Catatan Kelam yang Belum Menemukan Titik Terang
Berita ini 90 kali dibaca

Berita Terkait

Sabtu, 14 Juni 2025 - 03:48 WIB

Perempuan yang Mengukir Sejarah Kepemimpinan

Senin, 17 Maret 2025 - 18:07 WIB

Refleksi Peran Pemuda dalam Sejarah: Belajar dari Era 50-an hingga Revormasi

Sabtu, 8 Maret 2025 - 01:45 WIB

Revolusi Hijau dan Multikulturalisme Pangan

Jumat, 21 Februari 2025 - 19:04 WIB

76 Tahun Tan Malaka Pergi, Madilog Tetap Hidup

Kamis, 6 Februari 2025 - 23:51 WIB

100 Tahun Pramoedya Ananta Toer: Jejak Revolusi, Karya, dan Perjuangan

Berita Terbaru

Daerah

Tunjangan DPRD Naik, GMNI Kota Tangerang Angkat Bicara

Minggu, 7 Sep 2025 - 17:37 WIB