Oligarki, Demokrasi dan Belenggu Pragmatisme Politik

| PENAMARA . ID

Sabtu, 8 Maret 2025 - 04:06 WIB

facebook twitter whatsapp telegram copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon copy

URL berhasil dicopy

Jika melihat kiprahnya yang sudah memasuki usia 70 tahun (sejak pemilu pertama digelar 1955) seharusnya partai politik di Indonesia telah memasuki eksistensi wisdom dan mapan dalam membangun dan mengorganisir dirinya di tengah konstelasi politik nasional dan global. Namun, sayangnya hal itu tidak terjadi. Pemicu kegagalan itu ditengarai oleh beberapa faktor: pertama, watak oligarkis atau feodalisme yang menggerogoti tubuh partai politik.

Oligarkis dan feodalisme merupakan watak kekuasaan sekelompok elite yang secara materi buruk. Amandemen UUD 1945 yang menempatkan partai politik dalam posisi yang strategis bahkan supreme dalam struktur ketatanegaraan, memang memposisikan partai politik bak “lumbung atau singgasana surgawi” bagi petualang-petualang kekuasaan.

Dalam pertumbuhannya demokrasi semakin terkurung dalam ruang ambisi dan monopoli praktek kekuaasaan oligarki. Keputusan kelompok oligarki sering tidak memperdulikan belas kasihan sebagian kecil perut masyarakat. Awal mula aktivitas oligarki itu dimulai dengan adanya KKN merajalela, lemahnya substansi hukum, adanya politik tranksaksional hingga sederetan masalah dimana demokrasi terperangkap dan diakusisi oleh beberapa kepentingan kaum oligarki.

Saat ini oligarki menjadi sebuah ancaman bagi bangsa Indonesia. Bagaimana tidak? Seluruh kekuasaan terbesar dipegang sepenuhnya oleh kaum elit demi keuntungan pribadi mereka. Kita harus ingat bahwa Negara kita adalah Negara demokrasi, dimana kekuasaan terbesar ada pada rakyat itu sendiri. Jika berbicara tentang demokrasi, maka harus berbicara pula tentang kedaulatan rakyat. Demokrasi berdiri atas prinsip persamaan, bahwa setiap manusia adalah sederajat.

Dalam negara demokrasi, kita semua berdaulat, semuanya sama-sama punya kuasa. Tapi pada kenyataantnya, sistem demokrasi di Indonesia dikuasai oleh kaum oligarki sehingga makin jauh dari cita-cita yang diharapkan. Mengutip pernyataan Jeffrey A. Winters, seorang Profesor di Northwestenn University dalam bukunya yang berjudul “Oligarchy” menyatakan bahwa oligarki menekankan pada kekuatan sumber daya material sebagai basis kekuatan dan upaya mempertahankan kekayaan pada diri mereka. Adanya ketidaksetaraan material tersebut mengakibatkan ketidaksetaraan kekuasaan politik.

Kondisi itu juga yang terjadi di Indonesia saat ini. Jika dulu sebelum pra reformas sebelum oligarki berkuasa pada ranah sentral, pada era reformasi sekarang ini oligarki semakin berkembang ke berbagai bentuk melalui partai politik, pemilu dan parlemen yang ada hidup dari pusat hingga pelosok daerah.

Pelaksanaan demokrasi juga erat hubungannya dengan pembangunan nasional. Tujuan dari pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan kehidupan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka pembangunan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia ialah pembangunan yang saling berkesinambungan, yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.

Jika melihat kembali pernyataan Bung Hatta, “Jika kita ingin membangun suatu dunia dimana setiap orang seharusnya bahagia.”. Hal ini mengacu pada proses pembangunan yang seharusnya melibatkan rakyat, tapi pada kenyataannya rakyat hanya  menjadi penonton dari pembangunan itu sendiri. Konsep pembangunan yang keliru ini dilakukan oleh sekelompok elit politik dengan tujuan meningkatkan nilai tambah ekonomi, bukan nilai tambah manusia. Padahal hak sepenuhnya menjadi milik kita, rakyat Indonesia.

“Money is Power” mungkin tiga kata yang mewakili sistem pemerintahan di negara demokrasi ini. Uang menjadi kuasa tertinggi diatas segalanya, bahkan sesuatu yang tidak dapat disejajarkan nilainya dengan uang kini bisa ditukar dengan uang, seperti dewan perwakilan, jabatan, gelar, wewenang dan posisi fungsional.

Sangat jelas bahwa pemerintahan, pemilu, dan partai yang diharapkan diisi oleh orang-orang yang mengabdi dan bekerja untuk rakyat telah berubah, diisi oleh sekumpulan elit politik yang memiliki basis kekayaan materil serta basis kepentingan kapitalisnya sendiri. Nyatanya,  kaum  elit yang bermodal membeli politik (kekuasaan) dengan kekayaan yang mereka miliki.

Masyarakat tidak bisa dibodohi terus-menerus, kekecewaan publik lama kelamaan akan menjadi boomerang bagi elit-elit politik yang menyimpang. Pelaksanaan demokrasi haruslah memperhatikan unsur kompetensi dan integritas. Demokrasi tanpa kompetensi dan integritas hanya mengandalkan mobilisasi, bukan partisipasi.

Maka dari itu pentingnya pemikiran kritis untuk menggeser nilai oligariki serta mengembalikan nilai lama dalam pengamalan pancasila dan UUD 1945 sebagai pondasi demokrasi.


Artikel Lain : Vetokrasi di Kota Tangerang antara Kekuasaan melawan Moralitas

Penulis : Paskalis Kongkar

Editor : Redaktur

Berita Terkait

Republikanisme: Sebuah Filosofis Politik yang dibonsai Oligarki
Makan Bergizi Gratis: Janji Bergizi, Realita Pahit
Mewujudkan Indonesia Emas 2045, Bonus Demografi dan Peran Strategis Daerah Otonomi Baru Tangerang Utara
Luka Demokrasi dari Tangan yang Seharusnya Melindungi
Revolusi Dimulai dari Berhenti Percaya pada Negara.
Anarkisme: Sebuah Jalan Alternatif di Tengah Demokrasi yang Sakit
Demokrasi di bungkam, hukum di kubur & ketika pelindung berubah menjadi penindas
Ketidakwajaran yang Wajar bagi Sang Raja
Berita ini 74 kali dibaca

Berita Terkait

Rabu, 15 Oktober 2025 - 12:02 WIB

Republikanisme: Sebuah Filosofis Politik yang dibonsai Oligarki

Senin, 13 Oktober 2025 - 12:25 WIB

Makan Bergizi Gratis: Janji Bergizi, Realita Pahit

Sabtu, 6 September 2025 - 13:43 WIB

Mewujudkan Indonesia Emas 2045, Bonus Demografi dan Peran Strategis Daerah Otonomi Baru Tangerang Utara

Selasa, 2 September 2025 - 00:24 WIB

Luka Demokrasi dari Tangan yang Seharusnya Melindungi

Minggu, 31 Agustus 2025 - 18:25 WIB

Revolusi Dimulai dari Berhenti Percaya pada Negara.

Berita Terbaru