Fenomena negara tak berdaya bukan sekadar soal ketidakmampuan teknis dalam menyelesaikan masalah, melainkan tentang hilangnya ketegasan dalam mengambil keputusan yang seharusnya sederhana. Negara kita hari ini tampak gagap karena tidak mampu memberikan kejelasan kepada rakyat, bahkan terhadap isu fundamental seperti keabsahan dokumen seorang kepala negara. Dalam kasus polemik ijazah Joko Widodo, negara seolah membiarkan masyarakat hidup dalam ketidakpastian.
Alih-alih hadir untuk meluruskan polemik, negara justru membiarkan spekulasi liar terus berkembang di masyarakat, seakan-akan kebenaran adalah sesuatu yang boleh dinegosiasikan. Situasi ini cukup berbahaya. Ketika negara terlihat tak berdaya, ada tiga dampak besar yang mengintai. Pertama adalah Runtuhnya Kepercayaan Publik.
Kepercayaan adalah modal utama sebuah negara. Tanpa kepercayaan, apapun yang dikatakan pemerintah akan selalu dipertanyakan dan dicurigai. Krisis kepercayaan bisa berujung pada krisis legitimasi. Kedua adalah Me-normalisasi Ketidakpastian. Jika ketidakjelasan dibiarkan menjadi hal biasa, masyarakat akan terbiasa hidup dalam keraguan. Hukum jadi tumpul, kebenaran jadi kabur, dan rasa keadilan perlahan menghilang dari ruang publik. Ketiga adalah Pelemahan Institusi Negara. Ketidakmampuan menyelesaikan masalah kecil seperti ini bisa merembet pada persoalan lebih besar. Jika negara tak bisa menyelesaikan polemik ijazah, bagaimana bisa rakyat percaya negara mampu menangani korupsi, krisis ekonomi, atau ancaman geopolitik?
Fenomena negara tak berdaya adalah alarm bahaya bagi bangsa. Ia memberi sinyal bahwa sistem negara sedang bermasalah bukan karena serangan dari luar, tapi karena kelalaian di dalam. Pada akhirnya, bangsa ini layak mendapatkan kejelasan. Bukan untuk sekadar memuaskan rasa ingin tahu, tetapi untuk menjaga marwah hukum, kebenaran, dan kehormatan republik. Menunda penyelesaian bukan solusi. Karena dalam setiap penundaan, negara kehilangan sedikit demi sedikit kehormatannya di mata rakyat. Bangsa besar adalah bangsa yang berani menghadapi kenyataan, seberapapun pahit atau rumitnya.
Dalam polemik ijazah Joko Widodo, sesungguhnya bangsa ini tidak sekadar mencari selembar kertas bernama ijazah. Yang sedang dicari adalah kebenaran, kejujuran, dan ketegasan negara dalam menegakkan prinsip dasarnya. Negara tidak boleh kalah oleh spekulasi. Negara tidak boleh bersembunyi di balik alasan hukum untuk menutupi ketidakjelasan yang menggerogoti kepercayaan rakyat. Karena pada akhirnya, kekuatan negara bukan hanya diukur dari ekonomi atau kekuasaan, tapi dari seberapa beraninya ia berdiri di atas kebenaran.
Indonesia butuh pemimpin yang berani jujur.
Indonesia butuh negara yang berani tegas.
Karena bangsa ini terlalu besar untuk dibiarkan hidup dalam ketidakpastian.
Kebenaran harus ditegakkan.
Sekarang, sebelum semuanya terlambat.
Pada Kemana yak?
Artikel Lainnya: Negara dalam Proyek Politik Neo-Liberalisme
Penulis : M. Fadlul Rahman Arlan
Editor : Agnes Monica