Dididik jadi Juara, tapi Gagal jadi Manusia

| PENAMARA . ID

Kamis, 8 Mei 2025 - 23:31 WIB

facebook twitter whatsapp telegram copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon copy

URL berhasil dicopy

Ilustrasi | Oleh: Ari Sujatmiko

Ilustrasi | Oleh: Ari Sujatmiko

“Kita telah menciptakan generasi yang pandai memenangkan pertandingan, tetapi gagal menjadi manusia.”

Paradoks Kesuksesan Modern

Di sebuah ruangan kelas yang terang, seorang guru membagikan hasil ujian. Mata-mata menyapu kertas penuh angka merah dan hijau. Di sudut ruangan, seorang anak dengan nilai tertinggi tersenyum bangga, sementara di sudut lain, seorang anak menunduk menyembunyikan air mata. Semua mata tertuju pada papan pengumuman ranking—sebuah hierarki yang telah menjadi penentu harga diri sejak usia belia.

Inilah potret pendidikan kita.
Kita hidup dalam masyarakat yang memuja prestasi akademik seperti sebuah agama baru. Dari TK hingga perguruan tinggi, kita diajarkan bahwa nilai adalah ukuran keberhasilan tertinggi. Mata pelajaran diberikan bukan untuk dipahami, tetapi untuk dikuasai demi ujian. Pengetahuan bukan untuk dihayati, melainkan untuk dihafalkan semalam sebelum tes.

Setiap hari, jutaan anak Indonesia bangun dengan kecemasan. Mereka bersiap menghadapi sistem yang mengukur kemampuan mereka hanya dari seberapa baik mereka mengisi lembar jawaban. Pendidikan telah berubah dari proses penemuan diri menjadi kompetisi tanpa henti—tempat di mana satu-satunya hal yang dirayakan adalah kemenangan.

Ketika Angka Melampaui Makna

“Berapa nilaimu?” Pertanyaan ini telah menjadi sapaan umum di antara orang tua yang bertemu di gerbang sekolah. Bukan “Apakah anakmu bahagia belajar?” atau “Nilai-nilai apa yang telah dipelajarinya hari ini?”

Dari usia dini, kita diprogram untuk meyakini bahwa nilai sempurna adalah tiket menuju masa depan yang cemerlang. Ranking tinggi menjadi identitas. Medali dan piala menjadi bukti eksistensi. Terjebak dalam pengejaran tanpa henti ini, anak-anak kita kehilangan aspek terpenting dari pendidikan: menemukan siapa diri mereka sebenarnya.

Seorang siswa SMA di Jakarta pernah bercerita, “Saya dapat nilai tertinggi di kelas untuk pelajaran Pancasila, tapi saya tidak pernah benar-benar memikirkan apa artinya menghormati perbedaan dalam kehidupan sehari-hari.” Ironis, bukan? Kita menguasai teori nilai-nilai kehidupan, tetapi gagal menerapkannya.

Obsesi terhadap prestasi akademik telah menciptakan generasi yang menganggap belajar sebagai beban, bukan kegembiraan. Sekolah menjadi medan perang, bukan tempat eksplorasi. Di tengah kerumunan anak-anak berprestasi, tumbuh jiwa-jiwa yang lapar akan pengakuan tetapi miskin makna.

Korban di Balik Piala

Berapa banyak air mata yang tumpah diam-diam di kamar tidur? Berapa banyak potensi yang terbunuh karena tidak sesuai dengan definisi sempit tentang kesuksesan? Sistem pendidikan kita telah menciptakan korban-korban tak terlihat—anak-anak yang merasa tidak cukup baik karena tidak sesuai dengan cetakan yang telah ditentukan.

Data Kementerian Kesehatan menunjukkan peningkatan signifikan pada gangguan kesehatan mental di kalangan remaja Indonesia. Kecemasan, depresi, dan bahkan pikiran untuk bunuh diri semakin umum di kalangan siswa berprestasi. Di balik medali emas dan nilai sempurna, terdapat jiwa-jiwa rapuh yang dilatih untuk menekan emosi demi mencapai standar keunggulan yang seringkali tidak manusiawi.

Seorang juara olimpiade matematika tingkat nasional mengakui, “Saya bisa memecahkan persamaan diferensial kompleks, tetapi saya tidak tahu bagaimana mengatasi rasa sedih saya sendiri.” Sekolah mengajarkannya untuk meraih prestasi, tetapi gagal mengajarinya keterampilan hidup yang paling mendasar: mengelola emosi.

Pendidikan kita telah menciptakan paradoks mengerikan: semakin tinggi prestasi, semakin tinggi pula tekanan untuk tetap sempurna. Anak-anak juara terjebak dalam penjara ekspektasi, takut mengecewakan dan takut gagal. Mereka diprogram untuk berpikir bahwa kesalahan adalah aib, bukan kesempatan untuk belajar.

Emosi yang Dianggap Gangguan

“Jangan cengeng”; “Jangan baper”; “Cowok kok nangis?”; Kalimat-kalimat ini sering diucapkan tanpa sadar akan dampaknya yang merusak. Di kelas-kelas kita, emosi dianggap sebagai gangguan, sesuatu yang harus diredam demi efisiensi proses belajar.

Padahal, penelitian neurosains modern mengkonfirmasi bahwa pembelajaran paling efektif terjadi ketika melibatkan emosi. Kita mengingat hal-hal yang membuat kita merasakan sesuatu—baik itu kegembiraan, keheranan, atau bahkan kesedihan yang produktif. Mengeliminasi emosi dari pendidikan sama dengan menghilangkan esensi kemanusiaan dari proses belajar.

Dalam upaya menciptakan siswa yang tangguh dan berprestasi, kita justru menciptakan individu yang terputus dari perasaan mereka sendiri. Mereka menjadi ahli dalam menyembunyikan kelemahan, tetapi tidak tahu cara menghadapinya. Mereka menjadi mahir dalam kompetisi, tetapi gagap dalam kerja sama. Mereka menjadi cerdas secara intelektual, tetapi buta secara emosional.

Seorang guru bimbingan konseling di Surabaya berbagi pengalamannya, “Saya sering mendapati siswa-siswi berprestasi yang kesulitan mengekspresikan apa yang mereka rasakan. Mereka tahu cara mendapatkan nilai A, tetapi tidak tahu cara meminta bantuan ketika mereka terluka.” Inilah tragedi pendidikan kita: menciptakan individu yang takut menunjukkan sisi manusiawi mereka.

Karakter: Sang Tamu yang Terlupakan

Karakter dan nilai-nilai kehidupan telah menjadi tamu yang terlupakan dalam pesta pendidikan kita. Mereka hadir dalam pidato dan dokumen kurikulum yang indah, tetapi jarang terlihat dalam praktik sehari-hari. Di tengah kejar-kejaran menyelesaikan materi dan persiapan ujian, pembentukan karakter tersingkir ke pinggir—menjadi sekadar slogan tanpa implementasi.

Kejujuran, empati, integritas, tanggung jawab—nilai-nilai ini tidak bisa diukur dengan tes pilihan ganda. Tidak ada rumus matematika untuk menghitung tingkat kebaikan hati seseorang. Tidak ada KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) untuk kepedulian terhadap sesama. Karena tidak terukur, nilai-nilai ini sering diabaikan dalam sistem yang terobsesi dengan data kuantitatif.

Cerita seorang kepala sekolah di Yogyakarta mungkin bisa menjadi cermin bagi kita semua: “Saya pernah mendapati siswa dengan nilai tertinggi di angkatannya menyontek saat ujian. Ketika ditanya mengapa, dia menjawab dengan jujur bahwa dia tidak pernah diajarkan bahwa kejujuran lebih penting daripada nilai. Yang dia tahu hanyalah dia harus mendapatkan nilai sempurna, dengan cara apapun.”

Pendidikan karakter tidak bisa direduksi menjadi mata pelajaran 45 menit sekali seminggu. Karakter dibentuk melalui pengalaman, teladan, dan refleksi mendalam—hal-hal yang ironisnya sering dikorbankan demi efisiensi dan pencapaian akademik.

Mentalitas Korban Sistem

Sistem pendidikan yang berorientasi pada hasil telah menciptakan mentalitas yang rapuh. Ketika prestasi menjadi satu-satunya ukuran keberhasilan, kegagalan menjadi momok yang mengerikan. Anak-anak belajar untuk menghindari risiko dan mengambil jalan aman. Kreativitas dikorbankan demi keamanan. Keberanian mencoba hal baru dikalahkan oleh ketakutan akan kegagalan.

“Saya takut mengacungkan tangan di kelas karena takut jawaban saya salah,” ungkap seorang mahasiswi berprestasi. “Saya telah diprogram untuk selalu benar, sehingga kesalahan terasa seperti bencana.” Pengakuan ini menggambarkan bagaimana pendidikan kita telah gagal mengajarkan salah satu pelajaran hidup terpenting: bahwa kegagalan adalah bagian tak terpisahkan dari pertumbuhan.

Lebih memprihatinkan lagi, kita telah menciptakan generasi yang bergantung pada validasi eksternal—nilai, peringkat, dan pujian—untuk merasa berharga. Ketika validasi itu tidak ada, mereka kehilangan arah. Mereka tidak memiliki kompas internal yang dibangun dari pemahaman mendalam tentang diri sendiri.

Seorang psikolog pendidikan menjelaskan, “Banyak mahasiswa yang mengalami krisis identitas ketika masuk universitas. Mereka telah menghabiskan 12 tahun hidup mereka mendefinisikan diri melalui prestasi akademik. Ketika tiba-tiba berada di lingkungan di mana semua orang adalah ‘yang terbaik’ dari sekolah mereka, mereka tidak tahu lagi siapa diri mereka.”

Juara tanpa Jiwa: Apa Gunanya?

Bayangkan seorang juara matematika yang tidak tahu bagaimana bekerja sama dalam tim. Seorang penulis berbakat yang tidak memiliki empati untuk memahami perspektif orang lain. Seorang ilmuwan cerdas yang tidak memiliki kebijaksanaan untuk mempertimbangkan implikasi etis dari penemuannya.

Apa gunanya menjadi juara jika kita tidak tahu bagaimana menjadi manusia yang utuh?

Di era di mana kecerdasan buatan dapat menyelesaikan soal-soal kompleks dalam hitungan detik, nilai manusia tidak lagi terletak pada kemampuannya menghafal atau berhitung. Nilai manusia terletak pada apa yang tidak dapat dilakukan mesin: berempati, menciptakan makna, dan membuat keputusan berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan.

Pendidikan yang hanya fokus pada prestasi akademik adalah pendidikan yang ketinggalan zaman. Dunia tidak membutuhkan robot berprestasi, tetapi manusia utuh yang mampu menghadapi kompleksitas kehidupan dengan kebijaksanaan dan integritas.

Membangun Kembali Pendidikan yang Memanusiakan

Kritik tanpa solusi adalah kemewahan yang tidak bisa kita biarkan. Jadi, bagaimana kita membangun kembali sistem pendidikan yang memanusiakan?

Pertama, kita perlu menggeser paradigma kesuksesan. Berhenti mengagungkan nilai dan ranking sebagai ukuran tunggal keberhasilan. Mulailah merayakan proses, usaha, dan pertumbuhan. Seorang anak yang menunjukkan peningkatan signifikan—meskipun nilainya belum sempurna—layak mendapat pengakuan yang sama dengan juara kelas.

Kedua, integrasikan pendidikan karakter ke dalam setiap aspek pembelajaran. Nilai-nilai seperti kejujuran, empati, dan tanggung jawab bukan sekadar “materi tambahan” tetapi fondasi dari semua pembelajaran. Ketika mengajar matematika, ajarkan juga kejujuran dalam proses. Ketika mengajar sejarah, tekankan empati untuk memahami konteks berbagai peristiwa.

Ketiga, ciptakan ruang aman untuk mengekspresikan dan mengelola emosi. Biarkan anak-anak tahu bahwa rasa takut, sedih, atau frustrasi adalah bagian normal dari proses belajar. Ajarkan mereka keterampilan mengelola emosi ini, bukan menekannya.

Keempat, kembalikan kegembiraan dalam pembelajaran. Pendidikan seharusnya bukan hukuman atau beban, tetapi petualangan penemuan. Ketika anak-anak menemukan kegembiraan dalam belajar, mereka akan termotivasi dari dalam—tidak membutuhkan ancaman atau iming-iming hadiah.

Kelima, berikan ruang untuk kegagalan dan refleksi. Ajarkan bahwa kesalahan adalah guru terbaik. Bantu anak-anak melihat kegagalan bukan sebagai akhir perjalanan, tetapi sebagai data berharga untuk perbaikan.

Menjadi Manusia Seutuhnya

Pendidikan sejati adalah proses menjadi manusia seutuhnya—dengan segala kekuatan dan kelemahannya, dengan segala potensi dan keterbatasannya. Ini bukan semata tentang mengisi kepala dengan pengetahuan, tetapi juga mengisi hati dengan kebijaksanaan, keberanian, dan kasih.

Ketika kita mendidik anak-anak kita untuk menjadi juara dalam kompetisi kehidupan, jangan sampai kita lupa mendidik mereka untuk menjadi manusia dalam proses kehidupan itu sendiri. Karena pada akhirnya, dunia tidak akan mengingat berapa nilai matematika kita atau peringkat berapa kita di kelas. Dunia akan mengingat bagaimana kita memperlakukan orang lain, keberanian kita menghadapi tantangan, dan kontribusi kita untuk membuat hidup sedikit lebih baik bagi mereka yang kita temui.

Tujuan pendidikan adalah membuat seseorang bertanya pada dirinya sendiri pertanyaan yang tepat. Mungkin sudah waktunya kita semua—pendidik, orang tua, pembuat kebijakan, dan masyarakat—bertanya pada diri sendiri: “Pendidikan seperti apa yang benar-benar kita inginkan untuk generasi mendatang? Manusia seperti apa yang ingin kita bentuk?”

Jawabannya, saya harap, bukanlah sekadar “juara,” tetapi “manusia seutuhnya”—dengan hati yang penuh kasih, pikiran yang tajam, dan jiwa yang tangguh.

Artikel Lain :

Negara dalam Proyek Politik Neo-Liberalisme

Makin Kacau dan Sulit — Ini Ulah Siapa?

Penulis : Ari Sujatmiko

Editor : Redaktur

Berita Terkait

Republikanisme: Sebuah Filosofis Politik yang dibonsai Oligarki
Makan Bergizi Gratis: Janji Bergizi, Realita Pahit
Mewujudkan Indonesia Emas 2045, Bonus Demografi dan Peran Strategis Daerah Otonomi Baru Tangerang Utara
Luka Demokrasi dari Tangan yang Seharusnya Melindungi
Revolusi Dimulai dari Berhenti Percaya pada Negara.
Anarkisme: Sebuah Jalan Alternatif di Tengah Demokrasi yang Sakit
Demokrasi di bungkam, hukum di kubur & ketika pelindung berubah menjadi penindas
Ketidakwajaran yang Wajar bagi Sang Raja
Berita ini 109 kali dibaca

Berita Terkait

Rabu, 15 Oktober 2025 - 12:02 WIB

Republikanisme: Sebuah Filosofis Politik yang dibonsai Oligarki

Senin, 13 Oktober 2025 - 12:25 WIB

Makan Bergizi Gratis: Janji Bergizi, Realita Pahit

Sabtu, 6 September 2025 - 13:43 WIB

Mewujudkan Indonesia Emas 2045, Bonus Demografi dan Peran Strategis Daerah Otonomi Baru Tangerang Utara

Selasa, 2 September 2025 - 00:24 WIB

Luka Demokrasi dari Tangan yang Seharusnya Melindungi

Minggu, 31 Agustus 2025 - 18:25 WIB

Revolusi Dimulai dari Berhenti Percaya pada Negara.

Berita Terbaru