PENAMARA.ID – Secara aktual ikan adalah perenang dan burung secara potensial menjadi penerbang, ikan sejak lahir telah berenang dan burung akan terbang. Tetapi makna kemampuan itu tidak hanya untuk lari dari pemangsa dan mengejar yang dimaksa, diantara hidup dan mati ada yang mesti dijalani. Mata ikan tetap terbuka untuk mengisi samudra dengan kewaspadaan, dan kepakan sayap burung menghiasi cakrawala dengan mengamati.
Kehidupan bukan tentang menjadi tapi untuk dipahami. Menjadi merupakan potensial untuk aktual yang sudah tertanam dalam diri dan tak berubah, sementara memahami serupa dengan naluri kewaspadaan dan pengamatan kita terhadap kehidupan; berusaha menjadi sesuatu tanpa memahami sesungguhnya kemampuan individu masing-masing justu mengeroposkan kehidupan kita – aktual sudah ditentukan, tinggal bagaimana tau potensial didalam diri kita.
Milenial atau Generasi Z yang ditudingkan kepada kita kaum muda penerus bangsa adalah generasi yang melulu mencari eksistensi, padahal kemanjaan ini dan penderitaan ini dihasilkan dari keberingasan tanpa pikir panjang generasi sebelumnya yang berteriak kita adalah kaum yang tidak menghargai perjuangan lalu. Mungkin memang kita patut menunjukan bagaimana cara perjuangan kita dengan saling sadar menyadarkan.
Kehidupan kaum muda jangan kabur dengan hal-hal aksidental. Seperti : kekayaan diukur dengan material. Jika orang yang bergelimang harta yang bertanya, seolah berbeda maknanya dengan orang yang berkecukupan; pastinya lebih bermakna ‘yang bergelimang’, sedangkan ‘yang berkecukupan’ dianggap bertanya soal nasip.
Substansi pertanyaan dari kaya bertolak ukur dari material, namun bagaimana material dan nasip seolah substansi kehidupan. Pertanyaan dan jawaban soal hidup dipampangkan oleh sosok yang memiliki kemapanan dan kecerdasan hanya menimbulkan imajinasi skeptis untuk hidup yang baik dari orang kurang beruntung.
Seperti kita lebih menghargai ungkapan usahawan sementara nubuat Nabi sebagai renungan saja di hari suci. Hidup orang miskin dan bodoh hanya jadi contoh, bukan cerminan hidup; Seperti orang yang hidup kekurangan dijadikan objek agar kita hidup lebih baik darinya; seorang anak penjual lontong tidak mau datang ke coffeshop moderen untuk menghindari anggapan orang tentang dirinya yang anak seorang pedagang pinggiran; apa itu satu contoh kebajikan atau kebodohan? bukankah salah satu landas kebajikan adalah kesederhanaan?
Lalu, bagaimana bisa kejahatan besar yang sebagian untungnya – tidak mungkin seluruhnya – diberikan untuk orang yang kekurangan lebih berwibawa dianggap dari kejahatan kecil untuk diri sendiri; Apa kartel narkoba lebih baik dari pemerkosa? Bukannya si kartel bisa menghasilkan 10 pemerkosa, 10 perampok, dan 10 pembunuh? Bagaimana bisa klasifikasi jahat sekarang buram tolak ukur dengan dari besar dan kecil, bukannya perenungan kita akan kebaikan yang kurang?
Kebahagiaan tidak berobjek pada hal sementara. Pragmatis juga bukan soal sederhana mencari keuntungan saja seolah itu tak perlu penalaran berfikir lebih dalam; kalimat pragmatis pun muncul dari pemahaman ke pemahaman, sehingga dia ‘jadi suatu pemahaman’.
Menjadi manusia tanpa memahami intisari dari manusia itu bagaikan berenang tanpa mendayung, tanpa mendalami keindahan berfikir bagaikan terbang dengan mata tertutup. Hujan yang indah dilihat dalam kalimat orang lain lebih terasa dinginnya dengan kulit sendiri; bagaimana bisa mendengar cerita orang lain lebih bergairah daripada membuat cerita sendiri.
Maka menjadi manusia bukanlah mencontoh manusia lain, kemanusiaan harus dipahami agar kita tidak hanya dekat dengan orang lain; tapi juga diri sendiri. Mencintai diri sendiri juga sama arti mencintai sesama. Jangan jadi burung yang penasaran dalamnya lautan atau ikan yang ingin menjadi pemangsa diangkasa. Setiap orang punya takarannya tinggal bagaimana melihat potensi dalam diri masing-masing dari orang lain, bagaikan ikan dan burung yang bertukar cerita.
Kaum muda mesti berubah dengan caranya sendiri, yang dahulu mestinya tiada bosan menasehati karna bagaimana bisa mereka berjuang dahulu dengan darah dan air mata sekarang mereka menyerah dengan kemalasan dan masa bodoh yang dilihat dalam jumlah banyak.
Artikel Lain : STIH Painan Adakan Seminar Tentang Kesadaran Hukum dan Etika Dalam Menggunakan Media Sosial
Penulis : Devis Mamesah
Editor : Redaktur