Pendahuluan: Antara Hukum dan Moralitas Kebijakan
Kebijakan kenaikan tunjangan anggota DPRD Kota Tangerang melalui Peraturan Wali Kota (Perwal) menuai kontroversi. Pemerintah daerah berdalih bahwa kebijakan ini sah karena mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2017 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD. Namun, gelombang penolakan publik, termasuk aksi demonstrasi, memperlihatkan jurang antara legalitas formal dan legitimasi sosial.
Fenomena ini menunjukkan bahwa dalam negara hukum demokratis, kebijakan publik tidak bisa hanya diukur dari aspek legalitas prosedural. Keadilan sosial, kepatutan, transparansi, dan legitimasi rakyat adalah dimensi yang sama pentingnya. Legalitas tanpa legitimasi berisiko mereduksi demokrasi menjadi sekadar formalitas hukum yang hampa dari keadilan substantif.
Legalitas Perwal: Fondasi yang Tidak Cukup
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2017 secara eksplisit menyatakan bahwa DPRD berhak atas sejumlah komponen hak keuangan, termasuk tunjangan kesejahteraan¹. Pasal 8 ayat (1) PP tersebut memberi kewenangan kepada kepala daerah untuk menetapkan besaran tunjangan DPRD melalui Peraturan Kepala Daerah dengan memperhatikan kemampuan keuangan daerah.
Dengan dasar ini, Wali Kota Tangerang memang memiliki kewenangan atributif untuk mengeluarkan Perwal. Namun, dalam hukum administrasi negara, keabsahan kebijakan tidak cukup hanya berdasarkan aturan formal, melainkan juga harus memperhatikan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB)².
Kenaikan tunjangan di tengah kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang masih rapuh berpotensi melanggar asas kepatutan dan proporsionalitas. Dengan demikian, meskipun secara hukum formil Perwal tersebut sah, secara substantif kebijakan itu problematis.
Dimensi Keadilan Sosial yang Terabaikan
Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menjamin hak setiap warga negara atas kesejahteraan³. Dalam praktiknya, kemampuan keuangan daerah seharusnya diprioritaskan untuk pelayanan publik yang menyentuh langsung masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar.
Ironisnya, kebijakan kenaikan tunjangan justru menambah fasilitas pejabat legislatif yang notabene sudah mendapatkan berbagai hak keuangan. Hal ini menimbulkan kesan kuat bahwa pemerintah daerah lebih mengutamakan kepentingan elit ketimbang kebutuhan rakyat.
Kebijakan publik yang hanya mementingkan elit politik akan memperlebar kesenjangan sosial dan memperburuk krisis kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintahan.
Masalah Transparansi dan Partisipasi Publik
Salah satu kritik paling mendasar adalah minimnya keterlibatan masyarakat dalam proses penyusunan Perwal. UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan memberikan ruang partisipasi publik, sebagaimana diatur dalam Pasal 96⁴.
Meski Perwal berada di level teknis, prinsip open government menuntut adanya transparansi dan keterbukaan. Sayangnya, proses kenaikan tunjangan DPRD dilakukan secara elitis tanpa mekanisme konsultasi publik yang memadai. Hal ini memperkuat persepsi bahwa Perwal lebih menguntungkan pejabat daripada rakyat.
Demonstrasi sebagai Mekanisme Koreksi Demokratis
Gelombang protes terhadap kenaikan tunjangan DPRD seharusnya dibaca sebagai bentuk kontrol demokratis. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menjamin hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum⁵.
Menilai demonstrasi hanya dari perspektif ketertiban umum justru mengaburkan makna substantif dari protes tersebut. Demonstrasi adalah ekspresi kekecewaan rakyat terhadap kebijakan yang dianggap tidak adil dan elitis.
Diskresi Wali Kota: Antara Wewenang dan Penyalahgunaan
Perwal memang lahir dari kewenangan atributif Wali Kota. Namun, dalam perspektif UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, kewenangan itu termasuk dalam ranah diskresi administratif⁶. Diskresi ini harus dijalankan demi kepentingan umum, dengan memperhatikan asas keterbukaan, keadilan, dan proporsionalitas.
Jika diskresi digunakan semata-mata untuk mengakomodasi kepentingan DPRD, maka kebijakan tersebut dapat dinilai sebagai bentuk penyalahgunaan kewenangan.
Analisis Komparatif: Kasus Serupa di Daerah Lain
Fenomena kenaikan tunjangan DPRD yang memicu protes bukan hanya terjadi di Kota Tangerang.
Kasus di Surabaya (2017): Kenaikan tunjangan DPRD Surabaya yang dilakukan pasca terbitnya PP 18/2017 menuai kritik keras dari publik. Meski sah secara hukum, kebijakan itu dianggap tidak etis karena mengabaikan kebutuhan masyarakat akan pembangunan infrastruktur dasar.
Kasus di Kalimantan Barat (2019): DPRD Kalbar sempat ditolak publik ketika mengusulkan kenaikan tunjangan transportasi dan perumahan. Kritik utama adalah minimnya transparansi dan tidak sebanding dengan kinerja yang dihasilkan.
Kasus di Sumatera Utara (2021): Wacana kenaikan tunjangan DPRD Sumut menimbulkan demonstrasi mahasiswa. Mereka menilai kebijakan itu inkonsisten dengan kondisi ekonomi daerah pasca pandemi COVID-19.
Dari perbandingan ini terlihat pola serupa: legalitas dijadikan tameng, tetapi legitimasi publik diabaikan. Akibatnya, hampir semua kasus berujung pada penolakan rakyat, dan sebagian daerah bahkan menunda implementasi kebijakan.
Kerangka Teori Akademik
– Teori Legitimasi Max Weber
Weber membagi legitimasi kekuasaan ke dalam tiga bentuk: tradisional, karismatik, dan legal-rasional⁷. Perwal kenaikan tunjangan memang memenuhi syarat legal-rasional karena didasarkan pada peraturan tertulis. Namun, legitimasi tidak berhenti pada formalitas hukum. Ketika kebijakan tidak mendapat penerimaan publik, maka ia kehilangan legitimasi sosiologis. Inilah yang terjadi di Kota Tangerang: sah secara hukum, tetapi ditolak secara sosial.
– Konsep Good Governance
Prinsip good governance meliputi akuntabilitas, transparansi, partisipasi, efektivitas, dan keadilan⁸. Perwal yang lahir tanpa partisipasi publik dan minim transparansi jelas bertentangan dengan prinsip tersebut. Bahkan, secara normatif Indonesia telah mengikatkan diri pada prinsip-prinsip good governance melalui berbagai regulasi nasional.
– Asas Keadilan Sosial dalam Konstitusi
Sila kelima Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945 menekankan keadilan sosial sebagai tujuan pembangunan nasional. Kenaikan tunjangan DPRD tanpa mempertimbangkan kesenjangan sosial justru mengkhianati mandat konstitusional tersebut. Kebijakan publik yang hanya berpihak pada elit jelas bertentangan dengan cita-cita negara kesejahteraan.
Rekomendasi Kebijakan
Untuk menghindari krisis legitimasi serupa di masa mendatang, beberapa langkah strategis dapat dipertimbangkan:
– Transparansi Anggaran Publik: Pemerintah daerah harus membuka secara jelas komposisi APBD, termasuk alokasi untuk tunjangan pejabat.
– Partisipasi Publik yang Bermakna: Setiap kebijakan yang berdampak langsung pada APBD wajib melibatkan masyarakat sipil, akademisi, dan media.
– Penguatan Peran DPRD sebagai Representasi Rakyat: DPRD seharusnya lebih fokus pada fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran, bukan pada perburuan fasilitas.
– Evaluasi Regulasi Nasional: PP No. 18 Tahun 2017 sebaiknya ditinjau ulang dengan memperjelas indikator “kemampuan keuangan daerah”.
– Kontrol Sosial Berkelanjutan: Peran Ombudsman, BPK, dan KPK perlu dioptimalkan untuk mengawasi kebijakan tunjangan pejabat agar tidak melampaui batas kewajaran.
Penutup: Antara Legalitas dan Legitimasi
Kebijakan kenaikan tunjangan DPRD Kota Tangerang melalui Perwal mungkin sah secara hukum, tetapi tetap cacat secara moral. Legalitas formal tidak cukup untuk membenarkan kebijakan publik yang mengabaikan kepatutan, keadilan sosial, dan aspirasi rakyat.
Kasus serupa di berbagai daerah memperlihatkan bahwa problem ini bukan persoalan tunggal, melainkan fenomena nasional: kepentingan elit mengalahkan kepentingan rakyat dengan dalih legalitas.
Jika pemerintah daerah ingin menjaga kepercayaan publik, langkah bijak bukanlah sekadar mempertahankan legalitas, tetapi memastikan bahwa setiap kebijakan publik benar-benar berpihak pada rakyat. Tanpa itu, demokrasi lokal hanya akan menjadi arena formalitas hukum tanpa ruh keadilan.
Catatan Kaki
[1]: Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2017 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD, Pasal 8 ayat (1).
[2]: Pasal 10 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
[^3]: UUD 1945, Pasal 28H ayat (1).
[4]: UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pasal 96.
[5]: UUD 1945, Pasal 28E ayat (3).
[6]: UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Pasal 1 angka 9 tentang diskresi.
[7]: Max Weber, Economy and Society (1922), teori tentang legitimasi kekuasaan.
[8]: UNDP, Governance for Sustainable Human Development (1997).
Penulis : Muhamad chaerullah