Intensitas gerakan sipil kian memanas di pertengahan Februari, mereka datang dari berbagai segmentasi masyarakat, seperti: buruh pekerja, jaringan kerakyatan, aktivis mahasiswa, hingga segmen orang tua dengan sebutan barunya yang dipopulerkan sendiri oleh Presiden Prabowo waktu kampanye 2019— emak-emak.
Jika melihat lima tahun lalu, yang dimulai 2019 —dari protes hasil Pemilihan Umum (Pemilu), pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pasca Pengesahan Omnibuslaw (Undang-Undang Cipta Kerja)— sampai Oktober 2020, telah meninggalkan alasan bagi gerakan sipil mendesak agar diselesaikan oleh pemerintahan Prabowo-Gibran.
Tetapi malah persoalan nasional bertambah. Seperti TNI aktif dalam jabatan sipil, Polri yang mengintimidasi Pemilihan Kepala Daerah [Pilkada Serentak 2024], sampai larangan penjualan gas elpiji 3 kilogram secara eceran dan membuat seorang ibu bernama Yonik (62), meninggal kelelehan usai mengantre demi mendapatkan gas pada Senin, 3 Februari lalu.
Pada tingkat internasional dalam lawatan luar negeri Presiden Prabowo ke Tiongkok —sebagai negara pilihan pertama yang dikunjungi— menghasilkan joint statement [pernyataan bersama] seakan melegitimasi klaim atas batas maritim yang timpang tindih, yaitu pada Nine-Dash Line (ZEE di Natuna Utara) oleh Tiongkok.
Meski sudah dibantah Menteri Luar Negeri Sugiono, penyataan itu telah menimbulkan kegemparan pada kawasan yang rawan akan konflik militer antarnegara. Selain itu menurunkan apresiasi internasional terhadap Indonesia yang sebelumnya menolak klaim berlebih Tiongkok pada wilayah ini [Natuna Utara].
Kebijakan lain yang ditinggalkan era pemerintahan Jokowi-Ma’ruf makin memperkeruh intensitas publik, dengan menyematkan beberapa proyek swasta menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN) yang mendapat topangan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2021, menambah daftar konflik agraris dan HAM di Indonesia sampai Asia.
Dari sana terbuka, bahwa ada kompromi Presiden ketujuh Jokowi dengan swasta untuk saling mendukung konsorsium pemerintah dan konglomerat “sembilan naga” —tukar guling— Ibu Kota Nusantara (IKN) dengan pengembangan Pantai Indah Kapuk (PIK) dan Bumi Serpong Damai (BSD) di Tangerang, Rempang Eco City di Riau, serta Surabaya Waterfornt Land (SWL).
Hal ini memunculkan cuatan sosial media, seruan dalam aksi, sampai mural pada tembok-tembok bertuliskan “Adili Jokowi”. Seruan yang juga menduga kasus korupsi oleh Jokowi dan kerabatnya, dari korupsi dana DJKA (Direktorat Jendral Perkeretaapian) dikaitkan dengan nama Jokowi sendiri.
Serta kasus yang dikaitkan dengan nama putra-putra dan menantu Jokowi, seperti hubungan perusahaan berinisial PT SM dengan Wakil Presiden Gibran dan Kaesang, penggunaan jet pribadi untuk liburan dan mobil BMW seharga ratusan. Istilah “Blok Medan” juga muncul yang merujuk pada tambang di Halmahera Timur yang dikaitkan dengan Bobby Nasution, menantu Jokowi.
Tak cukup eskalasi protes yang dari seruan “Adili Jokowi”, mendorong tagar “kabur ajah dulu” [#KaburAjaDulu] ramai kembali di berbagai media sosial. Tagar yang ditujukan pada pemerintah agar serius memperhatikan nasip talenta potensial muda Indonesia.
Kembali tidak dapat menangkap maksud dari luapan tersebut, kementerian/lembaga menunjukkan “ketidakseriusan”. Ada menteri yang mempersilahkan namun tetap kembali, ada yang mempersilahkan kalau perlu tidak usah kembali, ada juga tuduhan para pengguna tagar tidak nasionalis.
Tidak berhenti, muncul juga tagar “Indonesia Gelap” [#IndonesiaGelap] untuk memaknai keresahan dan ketakutan masyarakat akan konsep absurd “Indonesia Emas”. Gerakan Indonesia Gelap diramaikan dengan berbagai aksi yang mengawal beberapa tuntutan:
Seperti mengkaji ulang Instruksi Presiden (Impres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi anggaran, transparansi status pembangunan dan pajak rakyat, evaluasi program Makan Bergizi Gratis (MBG) —yang paling menolak rakyat Papua dan memilik “sekolah gratis”.
Lalu menolak revisi UU Minerba (Mineral dan Batubara) dan Dwifungsi TNI, tingkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan nasional, impunitas dan tintaskan kasus HAM berat, serta protes atas “cawe-cawe” Jokowi dalam pemerintahan Prabowo-Gibran.
Diselah-selah aksi Indonesia Gelap, band punk Sukatani diminta Polri untuk menarik lagu mereka yang berjudul “Bayar Bayar Bayar” sebagai bentuk ekspresi pada oknum-oknum kepolisian yang culas di tubuh Polri. Nasip serupa dengan lukisan Yos Suprapton, yang dituduh terlalu “vulgal”, berujung pembatalan pameran lukisannya.
Seluruh irama ini sebagai gymnastics pergerakan untuk menyambut pemerintahan Prabowo-Gibran bersama para legislatif pusat hingga daerah, memberi peringatan bagi para penegak hukum menjalankan tugas sebaik-baiknya, serta ucapan selamat kepada para Kepala Daerah yang baru dilantik.
Gymnastic pergerakan ini akan mencapai puncaknya pada May Day, dan mungkin terus sampai akhir tahun 2025, serupa dengan Unjuk Rasa Tolak Omnibuslaw. Tak terasa gerakan tersebut sebagai potret rakyat yang terluka selama lima tahun, akankah para adiwangsa menyembuhkan atau malah makin melukai? —layaknya peristiwa kelam lain.
Ikut memberi gagasan: Hasyim Ahmadi
Artikel Lain :
Ironi Indonesia Gelap: Ketika Efisiensi Anggaran Justru Memadamkan Harapan
Danantara Peluang atau Ancaman Ekonomi Indonesia?
Penulis : Devis Mamesah
Editor : Redaktur