Rencana aksi mahasiswa di Kota Tangerang bakal menyoroti kebijakan tunjangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang dianggap membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Fokus tuntutan diarahkan pada Peraturan Wali Kota (Perwal) Nomor 15 Tahun 2025, yang menjadi dasar pencairan tunjangan perumahan dan transportasi bagi anggota dewan.
Isu ini memicu perdebatan di ruang publik. Sejumlah kalangan menilai, alokasi anggaran untuk tunjangan DPRD lebih baik diarahkan pada sektor yang menyentuh kebutuhan masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, atau bantuan sosial. Perdebatan tersebut berkembang menjadi sorotan terkait persepsi keadilan dan prioritas dalam pengelolaan APBD.
Direktur Eksekutif Kajian Politik Nasional (KPN), Adib Miftahul, menilai kritik mahasiswa dan masyarakat harus dimaknai sebagai bentuk kontrol sosial terhadap jalannya pemerintahan. Menurutnya, hal ini merupakan bagian dari dinamika demokrasi yang sehat.
“Kritik mahasiswa bisa dipahami sebagai kontrol publik. Namun perlu dipahami, gaji dan tunjangan DPRD tidak sepenuhnya ditentukan oleh pemerintah kota,” kata Adib saat dihubungi, Minggu (7/9/2025).
Adib menjelaskan, regulasi terkait gaji dan tunjangan DPRD diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri). Sementara Perwal hanya berfungsi teknis sebagai pelaksanaan aturan di atasnya.
“Jadi kalau ada desakan untuk mencabut Perwal, itu tidak sederhana. Tidak bisa ujug-ujug Pemkot atau DPRD menghapus begitu saja. Ada asistensi dan pengawasan dari provinsi hingga pusat,” ujarnya.
Adib menyarankan adanya kajian mendalam agar besaran gaji dan tunjangan DPRD benar-benar sepadan dengan beban kerja serta tanggung jawab wakil rakyat. Bahkan, menurutnya pemerintah pusat dapat menetapkan aturan standarisasi agar tidak terjadi kesenjangan antar daerah.
“Kalau perlu dikaji ulang supaya gaji dan tunjangan dewan sesuai dengan tanggung jawab mereka. Atau pemerintah pusat bisa membuat standar agar tidak menimbulkan kesenjangan antar daerah,” jelasnya.
Ia menambahkan, isu tunjangan DPRD berpotensi menggerus kepercayaan publik jika tidak dikelola dengan baik. Meski secara persentase belanja DPRD hanya sekitar lima persen dari total APBD Kota Tangerang, angka nominal yang besar tetap menjadi sorotan masyarakat.
Menurut Adib, fokus utama seharusnya tidak berhenti pada nominal tunjangan, melainkan juga pada transparansi anggaran dan kinerja DPRD. Ia menegaskan, besarnya tunjangan harus diimbangi dengan hasil kerja nyata yang dirasakan masyarakat.
“Kalau tunjangan besar tapi kinerja tidak dirasakan publik, kritik pasti semakin keras. Maka solusinya adalah keterbukaan data, evaluasi kinerja, serta komunikasi publik yang baik,” tegasnya.
Adib juga menekankan pentingnya DPRD untuk lebih aktif menjelaskan kepada masyarakat mengenai alokasi anggaran, sehingga tidak menimbulkan persepsi negatif. “Transparansi dan dialog jauh lebih penting daripada sekadar saling menyalahkan,” imbuhnya.
Dengan rencana aksi mahasiswa yang akan digelar, isu tunjangan DPRD diperkirakan masih akan menjadi sorotan utama dalam dinamika politik lokal Kota Tangerang. Publik menunggu langkah konkret pemerintah daerah dan DPRD untuk menegaskan komitmen pada transparansi, integritas, dan keberpihakan pada kepentingan masyarakat luas.