PENAMARA.ID – “Moderasi adalah yang terbaik,” ujar Cleobulus dari Lindos, atau “Pertengahan adalah yang terbaik,” kata Bias I dari Priene, mereka adalah dua dari tujuh orang bijaksana Yunani (hoi hepta sophoi). Esensi dari kebenaran yang mereka sampaikan tidak terletak pada objek, melainkan pada cara pandang atau perspektifnya. Pernyataan itu juga tidak terkait dengan agama, karena mereka bukanlah ahli agama.
Cara memandang akan kebenaran sudah banyak paparannya. Perkelahian raksasa pemikir dunia – dari kiri melempar paham koresponden, ditepis dengan paham koheren dari kanan; kita jangan sampai tertutup bayang mereka agar bisa mencapai pemikiran yang independen juga bebas dari opini-opini berseliweran di zaman digital dan tak bisa membedakan mana pikiran bertujuan menerangkan dan yang mengelapkan.
Opini berseliweran yang mereka sampaikan secara asal bahwa mereka yang menggagas, membuat kita seolah bodoh melihat dan mendengarnya padahal pun mereka salah kira akan teori itu. Satu yang berlebihan adalah mental health yang menjadi konsumsi orang awam dan membela mati-matian kenyamanan psikologi mereka seakan-akan dirinya begitu menderita dibanding orang lain.

Perdebatan pikiran “apa itu kebenaran?” tidak mau selesai selama berabad-abad, antara filsafat trasedental : keesaan suatu entitas, konotasi dibalik entitas; dengan filsafat realitas : pluralitas suatu entitas, entitas merupakan denotasi pikiran. antara tesis dengan anti-tesis.
Antara pikiran Hegel tentang keadaan masyarakat berasal dari ideologi tertentu; ditentang pikiran Engel-Marx bahwa keadaan masyarakat membentuk suatu ideologi. Juga antara truth by koheren menyatakan suatu proposisi dianggap benar jika selaras dengan sistem tertentu melawan truth by koresponden bahwa pernyataan berdasarkan fakta di dunia nyata.
Kebenaran jika melihat dari suatu objek nyata memang sangat sesuai jika kita meminjam pikiran Engel-Marx bahwa sesuatu nyata dilihat dari kebendaan : seperti ‘kursi’ dilihat sebagai tempat duduk, bukan memahami kursi secara rumit dari ‘konsep duduk’; bukan memahami forma (bentuk) sesuatu dahulu dari pada materi (isinya). Selanjutnya, apa definisi ‘rumah’ dapat jadi tanpa proses pembangunan rumah secara nyata dahulu? Apa definisi ‘menulis atau menggambar’ dapat jadi tanpa adanya buku dan tinta dahulu? – kesesuaian yang mendamaikan.
Namun, bagaimana kita memahami ‘kesetaraan’ yang tak berwujud? Membedah ekonomi yang merata dari kesamaan kelas dan kepemilikan aset, membedah perlindungan dan keamaan dari aparat dan alat militer; atau keadaan (kekayaan) alam mempengaruhi ekonomi dan posisi daratan dan lautan mempengaruhi kekuatan keamaan. Apa kesetaraan betul bisa hadir dari ekonomi yang merata serta perlindungan dan keamaan? Mendefinisikan kesetaraan tentu lebih cepat jika menggunakan dialektika idealis.
Matematika ditemukan dialam atau ditemukan pikiran manusia? Seperti 4+5=9 apa bisa dipahami tanpa gabungan pikiran dan benda nyata?. Pernyataan dari objek traseden dan penyataan dari objek realis adalah 2 hal yang sama berat tidak ada yang lebih tinggi dan kurang. Bahwa penyataan hal abstrak dipahami hanya dengan dialektika idealis tanpa memberikan kewujudan justu sebatas khayalan, begitupun sebaliknya pernyataan hal realitas hanya sampai pada substansi menggunakan dialektika materealis dan tak akan sampai pada esensi.
Maka menggunakan dua metode ini secara bergantian tanpa fanatik pada salah satu adalah yang terbaik, seperti tidak memakai makna sempit bahwa dialektika idealis condong pada kapitalis dan dialektika materialis condong pada proletar; bahwa kebenaran menurut koheren adalah hal yang kuno dan kebenaran menurut koresponden dekat dengan pikiran moderen.
Bukannya (kita) ingin jadi munafik dalam pikiran bahwa idealis didalam materialis diluar, kapitalis didalam kerakyatan diluar; dan sebaliknya. Maka jangan jadi seperti definisi Spinoza dalam Madilog, Tan Malaka. Tapi semata-mata demi kelancaran kita berfikir (divergen/kreatif) dan bentuklah pikiran asli mu dengan membuka serta memakainya (konvergen/kepastian).
Artikel Lain : Zaman Manusia Ingin Menjadi Bukan Memahami
Penulis : Devis Mamesah
Editor : Redaktur