Electronic Numerical Integrator and Computer atau ENIAC — sang komputer pertama — yang mulai dikenalkan pada publik 14 Februari 1946. Awalnya digunakan untuk kepeluan militer dan ilmiah, serta mencapai eksperimen untuk “meniru kecerdasan manusia” yang saat ini kita kenal dengan Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan.
Komputasi dan kecerdasan buatan, berkembang dan merambat menjadi bagian tak terpisahkan dengan kehidupan manusia, kita menyebutnya “era digital” — dari handphone menjadi smartphone — yang ditawarkan ialah “efisiensi dan otomatisasi pengelolaan informasi yang dapat diakses ‘seluas-luas’nya”. Bahkan informasi ringkas dan lebih baik dari tulisan ini dapat diakses dengan mudah melalui berbagai virtual AI.
Inovasi dan Kapitalisasi
Praktiknya seperti biasa, perkembangan ilmu pengetahuan teknologi (IPTEK) yang inovatif selalu dalam sokongan atau gabungan modal, dapat saja kita sebut digitalisasi sebagai aset baru “kapitalis global”. Perlahan membangun dominasi di ruang-ruang vital sampai muncul sematan baru “digitalisasi global”; serta tindak limitasi sepihak dengan deplatforming sebagai upaya “menghapus atau melarang” individu atau kelompok menggunakan sebuah platform digital.
Meski sulit dan berdampak rugi untuk sebuah platform melakukan deplatforming massal; tentu akan menjadi momok bagi individu atau kelompok lain setelah ada spesimen tindakan. Sesuatu yang dapat digunakan pemerintah bersama kapitalis digital menekan pihak tertentu yang dianggap tidak mendukung atau merepotkan kepentingan mereka secara nasional maupun internasional.
Upaya Kontrol Informasi

Seperti yang dialami Francisco Jose Contreres, akunnya di suspend [skorsing] selama 12 jam pada 2021 oleh Twitter (sekarang X), sebab pernyataannya mengenai seorang pria tidak bisa hamil dianggap “fasisme biologis” dan dapat mendorong kekerasan terhadap individu berdasarkan identitas gender. Hal yang juga dialami oleh jurnalis berpengaruh di Palestina (koran Al-Quds), Said Arikat.
3 Desember 2022, akun Arikat ter-suspend selama hampir satu bulan oleh Twitter, dengan alasan ada indikasi akunnya hendak diretas. Sebelum ter-suspend, ia sering melontarkan pertanyaan kritis atas kebijakan Amerika Serikat terhadap Palestina; serta aktif melaporkan peristiwa penting, termasuk Ammar Mufleh (23), seorang pemuda Palestina yang tidak ditangkap namun harus tertembak oleh peluru pasukan Israel sehari sebelum akun Arikat ter-suspend — dan saat itu Twitter baru saja dibeli seutunya oleh Elon Musk.
Kita mungkin melihat orang-orang diatas sebagai sosok yang dikenal secara internasional. Tetapi bagaimana dengan fan page Facebook milik Neneng Rosdiyana, yang sempat hilang sebulan [Maret 2025] dan mungkin dianggap terlalu mengemukakan paham Marxisme di Indonesia “lebih dalam dan tradisional”. Padahal jika diperhatikan, ia hanya menyampaikan sifat “gotong royong” masyarakat Indonesia yang sangat sosialis — ibu yang sederhana ini bahkan tidak tau Marxisme itu apa dan Karl Marx itu siapa.
Kontrol Sosial-Ekonomi

Deplatforming yang dialami oleh beberapa contoh diatas meski sementara, telah menunjukan bahwa para penyedia platform berbasis digital, terutama sosial media yang ramai dipakai bertransformasi menjadi alat “kapitalis digital”. Selain membatasi pendapat, ada juga upaya membatasi pendapatan — deplatforming finansial, contohnya:
Belum sebulan National Committe for Religious Freedom (Komite Nasional untuk Kebebasan Beragama) [NCRF] membuka rekening di bank JPMorgan Chase pada April 2022, rekening sudah ditutup tanpa alasan konsisten. Meski belum menimbulkan dampak signifikan seperti yang dialami oleh platform penggalangan dana amal Muslim, bahkan lintas agama — yaitu LaunchGood.
Saat Stripe penyedia layanan finansial teknologi, dan bank Wells Fargo yang menyediakan layanan perbankan, menghentikan kemitraan dengan LaunchGood, atas alasan kuatir jika dana yang terkumpul secara tidak sengaja tersalur ke organisasi teroris. Berhentinya kemitraan sempat melumpuhkan aktivitas LaunchGood pada tahun 2024, hingga secara mandiri meluncurkan PayGood.
Mundur ke September 2019, Rancangan Undang-Undang (RUU) Ekstradisi menuai penolakan masyarakat Hong Kong, mereka khawatir jika RUU disahkan akan banyak masyarakat atau aktivis yang ditangkap dan dikirim ke Tiongkok. “Gerakan Anti-RUU Ekstradisi” kala itu dibantu oleh “Safeguard Our Generation” selompok relawan kemanusiaan yang berupaya meredakan bentrok pengunjuk rasa dengan aparat.
Dukungan kemanusiaan tersebut diberikan oleh Gereja Good Neighbour North District (GNND). Tetapi, pada Desember 2020 rekening bank HSBC milik Gereja GNND serta rekening pendeta Roy Chan dan istrinya dibekukan, polisi Hong Kong beralasan sumber keuangan atas dukungan tersebut dari hasil pencucian uang dan penipuan — tapi sampai hari ini tidak ada hasil penyelidikan jelas.

Berdiri sejak 2014 Gereja GNND berfokus pada pelayanan kepada kelompok rentan, termasuk tunawisma dan kaum muda, serta berperan aktif mendukung gerakan pro-demokrasi. Mei 2021 menjadi akhir, gereja secara resmi mengentikan operasinya bersama 58 lembaga masyarakat sipil lain yang dibubarkan setelah UU Keamanan Nasional Hong Kong berlaku sebagai ganti RUU Ekstradisi yang gagal disahkan.
Lalu — gelombang aksi Maret 2023 dan Mei 2024 sebagai protes atas UU Transparansi Pengaruh Asing, sampai krisis politik pasca Pemilihan Legislatif Desember 2024, membuat jengah pemerintah Georgia. Sehingga 17 Maret lalu, Kejaksaan Agung Georgia mengumumkan pembekuan atas rekening lima organisasi masyarakat sipil yang dianggap mendukung protes anti-pemerintah.
Deplatforming ranah finansial sebetulnya terjadi juga di Indonesia, terutama pada para calon dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada Serentak) kemarin, tetapi karena hanya berdasarkan cerita, tidak akan dibicarakan dalam tulisan ini.
Pengaburan Privat dan Publik

Meski ada pengaruh geopolitik dalam uraian diatas, kita dapat melihat apa yang terjadi pada berbagai organisasi serta individu bahwa “ketentuan privasi dan keamanan bisa kapan saja diduakan” jika bekerja sama dengan negara atau kekuatan lain yang lebih besar — dan ada pertanyaan: dapatkan muncul sistem terintegrasi yang memantau alur keuangan atau mengatur bobot informasi seluruh manusia?
Pertanyaan tersebut tidak dilontarkan atas nalar konspiratif, tetapi berdasarkan potensi teknologi yang kita miliki saat ini. Jika memang berhasil diciptakan kita dapat menyimpulkan sendiri manfaat negatif dan positifnya, seperti angan novelis Frederick McCarthy Forsyth.
Selain itu kasus pembatasan sepihak sebagaimana disampaikan, memperlihatkan ketidakstabilan era digital, yang memungkinkan batas manusia dan mesin tidak lagi dalam bentuk pengguna dan alat — tetapi tentang siapa yang berhak mengatur siapa. Digitalisasi mengaburkan batas ruang privat dan hukum; isi ruang publik dalam algoritma tak murni; serta sarana kontrol sosial-ekonomi oleh kapitalis global atau pemerintah otoriter.
Artikel Lain :
Muncul ‘Keyakinan’ Baru di Barat?
Penulis : Devis Mamesah
Editor : Redaktur