Membaca lagi Riset D.N Aidit, Tujuh Setan Desa: Mereka Tak Mati, Hanya Berganti Wajah

| PENAMARA . ID

Sabtu, 18 Oktober 2025 - 00:21 WIB

facebook twitter whatsapp telegram copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon copy

URL berhasil dicopy

PENAMARA.id — Peringatan keras, jangan baca tulisan ini jika tidak sampai habis.

Desa selalu tampak tenang dari jauh. Tapi di balik hijaunya sawah dan kabut yang menggantung di pagi hari, ada sesuatu yang tak pernah selesai: ketimpangan, 

Sejak dulu, desa adalah cermin paling jujur dari republik ini — tempat di mana janji kemerdekaan diuji, dan di mana kata “keadilan sosial” sering terdengar seperti seloroh.

Enam puluh tahun lalu, di sebuah tempat di antara Gunung Gede dan Gunung Salak, D.N. Aidit menulis kalimat yang masih bergetar hingga kini: Kaum Tani Mengganyang Setan-setan Desa. Ia tidak sedang bercerita tentang mitologi, melainkan tentang struktur: tujuh wajah penindasan yang membuat rakyat kecil tak pernah beranjak dari kubangan kemiskinan.

Tuan tanah, lintah darat, tengkulak, bandit, birokrat korup, kapitalis, dan penguasa jahat — mereka inilah “setan-setan” yang membuat tanah subur tidak menjamin perut kenyang.

Banyak yang menyangka, semua itu sudah berakhir bersama sejarah. Tapi siapa bilang setan-setan itu mati? Mereka hanya berganti bentuk, berpindah ruang, dan beradaptasi dengan zaman.

Kini mereka muncul lewat kebijakan yang manis, proyek yang berlabel pembangunan, kredit yang mencekik, dan janji-janji kemajuan yang membungkam kritik. Mereka hidup di desa-desa yang dipuji karena “mandiri”, tapi sesungguhnya bergantung pada utang, tengkulak modern, dan perusahaan besar yang mengatur harga dari jauh.

Aidit menulis dengan amarah, tapi juga dengan data. Ia tahu, perjuangan tak cukup dengan teriakan, tapi harus berangkat dari pengertian tentang siapa musuh rakyat. Dan mungkin, di situlah nilai abadi dari “tujuh setan desa”: sebuah ajakan untuk terus membaca ulang struktur kekuasaan, agar rakyat tak terus hidup dalam kegelapan yang dianggap terang.

Hari ini, desa tak lagi sama. Jalan-jalan beton sudah dibangun, bantuan dana desa turun setiap tahun, dan petani punya gawai di tangannya. Tapi pertanyaannya tetap sama: siapa yang sebenarnya berkuasa atas tanah, air, dan tenaga di bawah langit desa itu?

Jika jawabannya masih bukan rakyat sendiri, maka Aidit belum sepenuhnya salah. Setan-setan itu memang tak mati—mereka hanya berganti wajah.

Saat itu awal tahun 1964. Aidit sedang menulis pengantar laporan penelitian partainya yang berjudul “Kaum Tani Mengganyang Setan-Setan Desa.”

Tulisan itu bukan lahir di balik meja kantor, melainkan di antara rakyat sendiri. Sebelum mengetik laporan, Aidit telah menggerakkan sekitar 40 kader partai untuk turun langsung ke desa-desa di Jawa Barat — dari Rancah dan Padaherang di Ciamis hingga Warunggunung dan Labuan di Banten. Mereka tinggal bersama petani selama tujuh minggu penuh, sejak 2 Februari sampai 23 Maret 1964.

Mereka tidak datang sebagai peneliti yang menjaga jarak. Mereka hidup dengan prinsip “tiga sama” — sama bekerja, sama makan, dan sama tidur dengan petani miskin. Mereka juga berpegang pada “empat jangan”: jangan tidur di rumah penghisap, jangan menggurui kaum tani, jangan merugikan tuan rumah, dan jangan mencatat di hadapan rakyat. Semua itu lahir dari semangat untuk memahami kenyataan secara langsung, tanpa sekat sosial apa pun.

Di tengah embun dan sawah, Aidit menemukan kenyataan yang kelam: bahwa kaum tani, tulang punggung bangsa, justru hidup paling miskin di tanah yang mereka garap sendiri.

Riset yang dipimpin Aidit lahir dari kegelisahan mendalam terhadap mandeknya pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960.

Undang-undang itu seharusnya menjadi tonggak keadilan sosial di bidang tanah — menjamin pembagian lahan yang adil, melindungi petani penggarap, dan menghapus feodalisme agraria yang diwariskan penjajah. Namun, dalam praktiknya, UUPA tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Tanah-tanah subur masih dikuasai oleh segelintir tuan tanah. Petani miskin tetap hidup dari hasil sewa, bagi hasil, atau buruh harian. Sementara pejabat birokrasi di desa sering bersekutu dengan para pemilik modal untuk mempertahankan status quo.

Aidit menilai, jika negara gagal menegakkan reforma agraria, maka rakyat harus bergerak sendiri. Dalam pidatonya pada 3 Februari 1964, ia mendesak kaum tani untuk memperjuangkan haknya, bahkan jika perlu dengan aksi sepihak.

“Pelaksanaan bagi hasil secara UUPBH di desa sepenuhnya tergantung pada aksi kaum tani,” tulisnya, “yang mampu memaksa tuan-tuan tanah memperbarui perjanjian sesuai undang-undang.”

Seruan itu kemudian menjadi semacam pedoman moral bagi gerakan tani. Tapi bagi Aidit, seruan tanpa pemahaman adalah kosong. Karena itu ia memerintahkan partainya untuk melakukan riset sosial agar perjuangan berakar pada kenyataan konkret, bukan sekadar semangat revolusioner.

Hasil penelitian itu kemudian menjadi dokumen politik dan sosial yang luar biasa penting. Dalam laporan Kaum Tani Mengganyang Setan-Setan Desa, Aidit dan timnya menggambarkan struktur masyarakat desa secara telanjang. Mereka menemukan tujuh kategori penindas yang hidup dari keringat petani, tujuh lapisan kekuasaan yang menindas rakyat dari segala arah. Aidit menyebut mereka “Tujuh Setan-Setan Desa.”

1. Tuan Tanah  – pemilik tanah luas yang menolak reforma agraria dan menindas petani salah satunya Ulama/kyai.

2. Lintah Darat – pemberi pinjaman berbunga tinggi yang membuat petani terjebak utang turun-temurun.

3. Tukang Ijon – pembeli hasil panen sebelum musim tiba dengan harga sangat murah.

4. Kapitalis Birokrat – pejabat yang korup dan memanfaatkan jabatannya untuk memperkaya diri.

5. Tengkulak – perantara perdagangan yang mempermainkan harga dan menekan petani.

6. Bandit Desa – preman atau aparat lokal yang menjadi alat kekuasaan untuk menakuti rakyat.

7. Penguasa Jahat – pejabat tinggi atau penguasa lokal (sekarang bisa disebut (Camat, Lurah/kepala desa, Jaro/mandor, hingga RT/RW) yang melindungi seluruh sistem penghisapan ini.

Tujuh setan itu, bagi Aidit, bukan sekadar metafora. Mereka adalah struktur sosial konkret yang membuat kemiskinan menjadi sistematis. Ia menulis, “Setan-setan ini tidak bisa dinasehati. Mereka harus diganyang.”

Kalimat itu menggambarkan keyakinannya bahwa kemerdekaan sejati tidak akan datang dari belas kasihan elite, melainkan dari kesadaran rakyat akan siapa yang menindas mereka.

Hal yang paling mengagumkan dari riset PKI waktu itu bukan hanya hasilnya, melainkan metodenya.

Aidit menolak cara riset konvensional yang berjarak dari rakyat. Ia meyakini bahwa kebenaran sosial hanya bisa ditemukan bila peneliti hidup bersama rakyat yang diteliti. Karena itu ia menetapkan prinsip “tiga sama” bukan sekadar etika, tapi metode ilmiah.

Para kader yang dikirim ke desa bukan sekadar menulis laporan, tapi ikut bekerja di sawah, ikut menimba air, menyapu halaman, bahkan ikut menjaga anak petani. Mereka belajar dengan tubuh, bukan hanya dengan kepala.

Dalam istilah hari ini, metode itu bisa disebut turun ke bawah atau anak anak gen-z menyebutnya dengan Livein — riset yang berpihak, riset yang memihak rakyat.

Itu pula sebabnya Aidit sering mengutip pepatah: “Untuk memahami seekor burung, kau harus ikut terbang.”

Bagi Aidit, ilmu harus punya arah: membebaskan manusia dari penindasan.

Pengetahuan yang tak berpihak pada penderitaan rakyat hanyalah mainan intelektual belaka.

Enam dekade sudah berlalu sejak laporan itu ditulis. Aidit telah lama tiada, PKI lenyap dari panggung politik, dan sejarah resmi berusaha menghapus semua jejaknya. Tapi apa yang ia tulis masih terasa menggigit hingga hari ini.

Lihatlah desa-desa kita sekarang.

Petani masih berjuang di lahan yang sempit, sering berhadapan dengan harga pupuk mahal, kebijakan yang tidak berpihak, dan ancaman alih fungsi lahan. Lintah darat kini berwujud aplikasi pinjaman online. Tengkulak masih berkuasa, hanya saja mereka kini memakai pakaian yang rapih.

Tuan tanah kini mungkin tak lagi membawa cambuk, tapi mereka hadir dalam bentuk korporasi besar yang menguasai ribuan hektare tanah atas nama investasi.

Kapitalis birokrat masih hidup — ia mungkin berseragam rapi, berpidato tentang keadilan-kesejahteraan, tapi menandatangani kebijakan yang menguntungkan Pengusaha Serakah.

Dan bandit desa kini bisa menjadi preman berseragam ormas, beralmamater mahasiswa atau siapa saja yang menjadi alat kekuasaan untuk membungkam atau mengalihkan suara rakyat.

Artinya, tujuh setan itu belum mati. Mereka hanya berganti pakaian.

Bagi generasi muda sekarang, istilah “setan desa” mungkin terdengar seperti retorika ideologis masa lalu. Tapi jika kita renungkan, konsep ini sesungguhnya adalah peta sosial yang masih relevan untuk membaca struktur ketimpangan di negeri yang sok alim ini.

“Setan desa” bukan sekadar simbol komunisme, melainkan kritik terhadap realitas: bahwa di balik kemerdekaan, masih ada penjajahan dalam bentuk lain.

Kita hidup di masa di mana petani bisa menanam padi tapi tak mampu membeli beras; nelayan bisa melaut tapi terjepit harga solar karena harus melewati pagar yang berada di laut utara tangerang ; buruh bisa bekerja keras tapi tetap miskin. Semua itu menunjukkan bahwa penghisapan kini tidak hanya dilakukan oleh individu, tapi oleh sistem yang rapih, sah, dan dilindungi hukum.

Aidit, dengan segala kontroversinya, mencoba mengingatkan bahwa politik sejati adalah politik yang berpihak.

Ia menulis bukan untuk membangkitkan kebencian, tapi kesadaran.

Karena bagi dia, kesadaran rakyat adalah awal dari revolusi sosial.

Jika kita menengok kembali semangat riset PKI pada tahun 1964 itu, ada pelajaran berharga yang bisa diambil — bahkan tanpa perlu setuju dengan ideologi mereka.

Pertama, riset harus berpihak. Ilmu sosial tidak boleh netral di hadapan penderitaan.

Kedua, perubahan sosial tidak lahir dari teori, tapi dari pemahaman nyata atas kondisi rakyat.

Ketiga, politik tanpa basis riset hanya akan melahirkan jargon.

Hari ini, banyak kebijakan dibuat dari balik meja tanpa menyentuh atau mencium keringat kehidupan rakyat. Para perumusnya tak pernah mencangkul tanah, tak pernah mendengar langsung jerit petani, tak pernah tidur di rumah bambu yang bocor. Mereka bicara tentang “pembangunan desa” tapi jarang datang ke desa dengan hati terbuka.

Aidit mengajarkan kebalikannya: datangi rakyat, dengarkan mereka, dan pahami kehidupan dari dalam.

Itulah politik yang sejati — politik yang manusiawi.

Kita tidak perlu menghidupkan kembali partai lama untuk menghidupkan semangatnya. Yang perlu kita warisi adalah metodenya, kesederhanaanya, dan keberpihakannya kepada rakyat yang tertindas

Ketika para mahasiswa, peneliti, dan jurnalis hari ini kembali turun ke desa untuk menulis kisah-kisah rakyat kecil, mereka sebenarnya sedang meneruskan semangat Aidit — meski mungkin tanpa sadar.

Setiap laporan yang menyingkap ketimpangan, setiap riset yang menantang kekuasaan, setiap tulisan yang berpihak pada kaum miskin — semuanya adalah bentuk modern dari “menganjang setan-setan desa.”

Karena setan itu tidak selalu berbentuk manusia. Kadang ia berwujud sistem, kebijakan, atau bahkan ketidakpedulian.

Di Cipanas, Aidit pernah menulis bahwa “perubahan tak lahir dari mimpi, tetapi dari keberanian untuk menatap kenyataan.”

Kalimat itu terasa abadi. Ia tidak hanya milik komunis, tapi milik siapa saja yang mencintai kebenaran sosial.

Setan-setan desa mungkin berganti wajah — dari tuan tanah ke korporasi, dari lintah darat ke fintech, dari bandit ke birokrat/ormas. Tapi selama masih ada rakyat yang tertindas, semangat “mengganyang setan desa” tak boleh padam.

Kita tak sedang bicara tentang ideologi, tapi tentang kemanusiaan yang berpihak.

Tentang keberanian untuk melihat penderitaan tanpa menutup mata.

Tentang keyakinan bahwa perubahan sejati lahir dari bawah, dari lumpur, dari peluh, dari rakyat itu sendiri.

Maka, jika hari ini kita masih menyebut nama Aidit, bukan karena ingin mengulang masa lalu, tapi karena kita ingin mengingat kembali bahwa pernah ada seorang pemimpin yang berani menulis sejarah dari pinggir sawah, bukan dari balik kekuasaan.

Dan mungkin, suatu hari nanti, akan lahir generasi baru yang meneruskan jejaknya — generasi yang tidak takut mengganyang setan-setan baru, di desa, di gang sempit kota kota besar atau di mana pun mereka bersembunyi.


baca juga : Anarkisme: Sebuah Jalan Alternatif di Tengah Demokrasi yang Sakit

 

Penulis : Ari Sujatmiko

Editor : Redaktur

Berita Terkait

Kolaborasi Himpunan Mahasiswa Rumpin dan UNPAM dalam PKM Pelatihan Konten Kreatif Digital
Sirkel Penjajah Gaya Baru : Yang Dulu Ditindas, Kini Ikutan Menindas
Koalisi Progresif Mahasiswa UNTARA Lebih Maju : Farhan Rafiqi dan Mohammad Yusup Menang Pemira.
HMI Cabang Kabupaten Tangerang Gandeng Komunitas Hijaukan Pesisir Mauk.
Simak Cara Mencegah Bullying di Sekolah ala Mahasiswa UNPAM
Bullying dan Kesehatan Mental; Ini yang Dilakukan PKM UNPAM
Mahasiswa Unpam Siap Jadi Pelopor Perubahan Hidup Tanpa Narkoba
Memahami Sholat dalam Perspektif Muhammadiyah
Berita ini 20 kali dibaca

Berita Terkait

Sabtu, 18 Oktober 2025 - 00:21 WIB

Membaca lagi Riset D.N Aidit, Tujuh Setan Desa: Mereka Tak Mati, Hanya Berganti Wajah

Senin, 13 Oktober 2025 - 12:05 WIB

Kolaborasi Himpunan Mahasiswa Rumpin dan UNPAM dalam PKM Pelatihan Konten Kreatif Digital

Rabu, 27 Agustus 2025 - 04:38 WIB

Sirkel Penjajah Gaya Baru : Yang Dulu Ditindas, Kini Ikutan Menindas

Jumat, 25 Juli 2025 - 04:17 WIB

Koalisi Progresif Mahasiswa UNTARA Lebih Maju : Farhan Rafiqi dan Mohammad Yusup Menang Pemira.

Minggu, 29 Juni 2025 - 14:20 WIB

HMI Cabang Kabupaten Tangerang Gandeng Komunitas Hijaukan Pesisir Mauk.

Berita Terbaru