Tanah Dirampas, Pendidikan Dimainkan, Harga Dibohongi. Mereka Kaya dari Penderitaan Kita

| PENAMARA . ID

Senin, 24 Februari 2025 - 19:26 WIB

facebook twitter whatsapp telegram copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon copy

URL berhasil dicopy

Screenshot

Screenshot

Saya bukan berasal dari keluarga kaya. Namun, saya memahami bagaimana para pemegang kekuasaan bekerja dan berpikir. Mafia bukan sekadar cerita fiksi dalam film. Mereka nyata, hidup di sekitar kita berpakaian sama seperti halnya masyarakat biasanya ia mengendalikan sistem melalui cara-cara dibelakang layar atau yang biasa disebut Shadow Goverment. Mulai dari sektor pertanahan, pendidikan, hukum, hingga perdagangan, ada kelompok-kelompok yang diam-diam mengontrol arus uang dan kekuasaan. Inilah saatnya membuka tabir kelicikan mereka.

1. Mafia Tanah: Permainan Kotor di Atas Hak Rakyat Kecil

Tanah bukan hanya soal lahan; ia adalah sumber kehidupan. Namun, mafia tanah memandangnya sebagai ladang bisnis yang menggiurkan, tak peduli hak siapa yang dilanggar. Mereka beroperasi dengan rencana matang dan dukungan jaringan yang kuat.

Bagaimana Mereka Bekerja?

– Pembelian Tanah Skala Besar dengan Harga Murah

  Mafia tanah menargetkan kawasan berkembang yang belum tersentuh infrastruktur. Mereka membeli lahan dalam jumlah besar saat harganya masih rendah, menunggu hingga nilai properti melonjak seiring pembangunan.

– Penguasaan Melalui Sertifikat Palsu

Lahan berstatus abu-abu seperti tanah adat atau tanah sengketa sering menjadi incaran. Dengan “orang dalam” di lembaga pertanahan, mereka memalsukan dokumen dan menguasai lahan seolah-olah milik mereka secara sah.

– Penggusuran Paksa dan Manipulasi Hukum

  Jika pemilik sah bertahan, tekanan fisik dan psikologis kerap terjadi. Intimidasi, suap aparat, hingga penggusuran paksa bukan hal baru. Ketika uang berbicara, hukum seringkali tunduk pada kekuasaan.

– Monopoli Harga dan Pasokan Properti

Setelah lahan dikuasai, mereka menahan pelepasan tanah hingga harga meroket. Hasilnya? Harga rumah melambung, menjauhkan masyarakat berpenghasilan rendah dari impian memiliki hunian.

2. Mafia Pendidikan: Ladang Bisnis Berkedok Pencerdasan Bangsa

Pendidikan seharusnya menjadi alat pemerataan kesejahteraan. Namun, realitas menunjukkan sebaliknya. Mafia pendidikan menjadikan sektor ini sebagai lahan bisnis yang menguntungkan segelintir orang.

Modus Operandi yang Terjadi:

– Kenaikan UKT dan Biaya Kuliah yang Tidak Wajar

Meski pemerintah mengklaim adanya subsidi, kenyataannya Uang Kuliah Tunggal (UKT) terus melonjak. Banyak kampus memanfaatkan celah aturan demi keuntungan, menambah beban mahasiswa dari keluarga tidak mampu.

– Masuknya Skema Pinjaman Mahasiswa

  Tanpa banyak publikasi, sistem pinjaman mahasiswa ala Amerika mulai merayap ke Indonesia. Mahasiswa dipaksa berutang demi kuliah, hanya untuk lulus dengan beban utang berbunga tinggi.

– Beasiswa Tak Tepat Sasaran

  Program seperti KIP-K yang ditujukan untuk mahasiswa miskin sering jatuh ke tangan yang salah. Manipulasi data, praktik kolusi, dan sistem seleksi yang tidak transparan menjadi biang keladinya.

– Penggelapan Dana Bantuan Pendidikan

Dana Program Indonesia Pintar (PIP) kerap diselewengkan. Modusnya: data orang lain dimasukkan sebagai penerima, sementara dana cair ke oknum. Kerugian negara mencapai ratusan juta rupiah, meninggalkan siswa yang benar-benar membutuhkan tanpa bantuan.

– Bisnis Sertifikasi dan Akreditasi

Sertifikat menjadi prasyarat kerja, akreditasi menentukan prestise kampus. Ironisnya, keduanya bisa “dikondisikan” dengan transaksi di bawah meja. Perguruan Tinggi Swasta (PTS) pun banyak yang berorientasi pada profit, mengabaikan kualitas pendidikan.

3. Mafia Perdagangan: Mengontrol Harga, Menguras Rakyat.

Perdagangan seharusnya menjamin kestabilan harga dan ketersediaan barang. Namun, mafia perdagangan justru memutarbalikkan sistem demi meraup keuntungan.

Strategi Licik Mereka:

– Kartel dan Monopoli Komoditas

  Kelompok tertentu mengontrol pasokan bahan pokok seperti beras, gula, dan minyak goreng. Mereka sengaja mengatur kelangkaan agar harga naik, memaksa rakyat membayar lebih mahal.

– Permainan Barang Impor

Mafia impor menghalangi pertumbuhan produk lokal dengan mempermudah masuknya barang asing secara ilegal atau dengan bea cukai minimal. Persaingan menjadi tidak sehat, dan produsen lokal merugi.

  • Spekulasi dan Kelangkaan Buatan

Kasus kelangkaan minyak goreng yang sempat terjadi bukanlah kebetulan. Spekulan menimbun stok, menciptakan kelangkaan buatan untuk melambungkan harga.

– Manipulasi Pajak dan Bea Cukai

Sementara pedagang kecil diperas dengan pajak tinggi, mafia besar menyelundupkan barang melalui jalur khusus. Jaringan mereka merambah ke institusi, memperlihatkan betapa dalamnya korupsi mengakar.

Mengapa Mafia Bisa Berkembang?

Jawabannya sederhana: sistem yang tidak transparan dan penegakan hukum yang lemah. Uang dan kekuasaan membuat mereka kebal dari jerat hukum, sementara masyarakat awam kerap tak paham bagaimana sistem bekerja.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

1. Pahami Sistem, Kenali Celahnya

Pengetahuan adalah senjata. Semakin kita mengerti bagaimana mafia bermain, semakin kecil kemungkinan kita menjadi korban.

2. Perkuat Jaringan dan Koneksi

Jangan terisolasi. Lingkaran sosial yang kuat dapat menjadi pelindung dari jeratan sistem yang korup.

3. Cari Peluang di Tengah Sistem yang Rusak

Dunia ini tak selalu adil. Namun, dengan memahami permainan, kita bisa mencari celah untuk tetap bertahan tanpa harus menjadi bagian dari kejahatan.

Pada akhirnya, dunia ini bukan tentang siapa yang baik atau jahat, melainkan siapa yang mengerti cara mainnya dan siapa yang hanya menjadi bidak di papan catur. Mafia tanah, pendidikan, dan perdagangan adalah wajah kelam dari sistem yang telah dimanipulasi. Mereka beroperasi dalam bayang-bayang, namun dampaknya nyata dan terasa di kehidupan sehari-hari.

Sebagai masyarakat, kita tak boleh hanya diam. Kesadaran adalah langkah pertama menuju perubahan. Jangan biarkan diri Anda menjadi korban dari permainan yang tak Anda pahami. Saatnya membuka mata, melawan, dan mengambil peran dalam membongkar sisi gelap para mafia ini.

Penulis : Ari Sujatmiko

Editor : Redaktur

Berita Terkait

Agama, Kuasa, dan Tubuh yang Dibungkam; Menelisik Kekerasan Seksual di Pesantren
Ketika Intoleransi menjadi Beban Tambahan bagi Perempuan
Perempuan, 1965, dan Luka yang Membekas
Mengenal Diri atau Sekadar Membuat Cerita?
Kemiskinan; Antara Sistem, Budaya, dan Prasangka Sosial
Islam, Zaman, dan Tantangan Berpikir: Bung Karno Menjawab Stagnasi Umat
Moralitas Antargenerasi: Menjaga Masa Depan yang Belum Hadir
Resensi Buku: Seni Mencintai – Erich Fromm
Berita ini 32 kali dibaca

Berita Terkait

Selasa, 21 Oktober 2025 - 11:11 WIB

Agama, Kuasa, dan Tubuh yang Dibungkam; Menelisik Kekerasan Seksual di Pesantren

Senin, 6 Oktober 2025 - 01:33 WIB

Ketika Intoleransi menjadi Beban Tambahan bagi Perempuan

Sabtu, 4 Oktober 2025 - 14:47 WIB

Perempuan, 1965, dan Luka yang Membekas

Minggu, 28 September 2025 - 14:12 WIB

Mengenal Diri atau Sekadar Membuat Cerita?

Rabu, 13 Agustus 2025 - 13:37 WIB

Kemiskinan; Antara Sistem, Budaya, dan Prasangka Sosial

Berita Terbaru