Ketahanan pangan menjadi isu strategis bagi Indonesia, mengingat negara ini memiliki populasi lebih dari 280 juta jiwa yang bergantung pada ketersediaan pangan yang stabil. Ketahanan pangan adalah suatu kondisi di mana setiap orang memiliki akses terhadap pangan yang cukup, bergizi, aman, dan berkelanjutan. Ketersediaan pangan merupakan salah satu aspek terpenting dalam mencapai ketahanan pangan nasional. Jika produksi pangan tidak mencukupi, hal ini akan menjadi malapetaka bagi masyarakat karena masyarakat akan kesulitan untuk mengakses pangan, hal ini dapat berdampak pada harga yang mencekik dan berimbas pada kesejahteraan juga kesehatan masyarakat.
Memastikan pasokan pangan yang cukup dan merata di seluruh Indonesia sangat penting dalam membangun negara yang berdaulat pangan. Ketahanan pangan yang kuat juga berkaitan dengan stabilitas ekonomi dan sosial. Ketika pasokan pangan terganggu, inflasi harga pangan akan meningkat, daya beli masyarakat menurun, dan ketidakstabilan sosial pun terjadi.
Indonesia adalah negara agraris dengan potensi produksi pangan yang sangat besar. Indonesia seharusnya dapat mencapai swasembada pangan berkat wilayah pertaniannya yang luas dan lingkungan tropis yang mendukung pertanian sepanjang tahun. Berdasarkan data BPS, luas panen padi di Indonesia pada tahun 2024 diperkirakan mencapai 10,05 juta hektare. Namun, angka ini mengalami penurunan 1,64% dibandingkan tahun 2023 yang sebesar 10,21 juta hektare.
Konversi lahan pertanian merupakan salah satu penyebab utama rendahnya produksi pangan di Indonesia. Setiap tahun, sekitar 100.000 hektar lahan pertanian bermetamorfosis menjadi kawasan industri, pemukiman, dan infrastruktur lainnya. Menurut Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional pada 2022, rata-rata konversi lahan sawah menjadi nonsawah di Indonesia mencapai 100.000 hingga 150.000 hektare per tahun. Luas panen padi pada 2023 diperkirakan sekitar 10,20 juta hektare,mengalami penurunan sebanyak 255,79 ribu hektare atau 2,45 persen dibandingkan luas panen padi di 2022 yang sebesar 10,45 juta hektare.
Selain itu, pola cuaca ekstrim yang disebabkan oleh fenomena El Nino dan La Nina berdampak langsung pada produksi pertanian. Menurut Kementerian Pertanian melalui Tabloid Sinar Tani, beberapa penelitian di Food and Agriculture Organization (FAO) menunjukkan Indonesia sebagai negara dengan perekonomian terbesar di Asia Tenggara yang akan paling menderita akibat perubahan iklim, terutama kekeringan dan banjir. Pasalnya, fenomena ini akan menurunkan produksi pangan dan kapasitas produksi. Kekeringan yang berkepanjangan di beberapa daerah telah mengakibatkan hasil panen padi merosot, sementara curah hujan yang tinggi di daerah lain telah menyebabkan banjir yang menenggelamkan lahan pertanian. Produksi padi pada 2023 diperkirakan sebesar 53,63 juta ton gabah kering giling (GKG), mengalami penurunan sebanyak 1,12 juta ton GKG atau 2,05 persen dibandingkan produksi padi di 2022 yang sebesar 54,75 juta ton GKG.
Ketergantungan Indonesia terhadap impor pangan juga memperkeruh situasi ini. Beras, kedelai, gandum, gula, dan daging masih diimpor karena terbatasnya produksi dalam negeri. Ketergantungan ini membuat Indonesia sangat sensitif terhadap gejolak harga global dan gangguan rantai pasokan. Indonesia akan terus berada dalam posisi yang tidak aman secara pangan.
Kekhawatiran lain yang sering diabaikan adalah ketergantungan masyarakat terhadap komoditas tertentu, terutama beras. Beras menyumbang lebih dari 90% asupan karbohidrat di Indonesia, padahal negara ini memiliki banyak sumber pangan lain yang tersedia, seperti sagu, singkong, dan jagung. Data dari U.S. Department of Agriculture (USDA) menunjukkan, total konsumsi dan residu atau sisa beras Indonesia mencapai 36,5 juta metrik ton pada Juni 2024. Pada tahun 2020-2021, konsumsi dan residu beras Indonesia mencapai 35,4 juta metrik ton.
Pada tahun 2021-2022, jumlahnya berkurang menjadi 35,3 juta metrik ton. Pada tahun 2022-2023, jumlahnya meningkat menjadi 35,6 juta metrik ton. Pada tahun 2023-2024, bobotnya meningkat lagi menjadi 36 juta metrik ton. Dengan demikian, terjadi kenaikan yang cukup signifikan, pasalnya selisih antara konsumsi tahun 2023 dan tahun 2024 adalah 500 ribu. Diversifikasi pangan telah lama didukung oleh pemerintah, namun masih menghadapi banyak tantangan, termasuk pola konsumsi yang sudah mapan dan kurangnya inisiatif bagi petani untuk menanam tanaman baru.
Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan kebijakan yang lebih progresif dan terkoordinasi. Untuk mengurangi ketergantungan pada impor, pemerintah harus memperketat perlindungan lahan pertanian, memperluas investasi pada teknologi pertanian yang tahan terhadap perubahan iklim, dan mempromosikan produksi pangan lokal. Selain itu, inisiatif diversifikasi pangan harus lebih diperluas agar masyarakat tidak hanya bergantung pada beras sebagai sumber karbohidrat utama.
Menjaga ketersediaan pangan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja, namun juga membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak, termasuk sektor swasta dan masyarakat. Jika tidak ada upaya nyata yang dilakukan segera, kemungkinan terjadinya bencana pangan di masa depan akan semakin nyata. Oleh karena itu, penting bagi Indonesia untuk mengambil pendekatan yang lebih serius dalam mencapai ketahanan pangan jangka panjang untuk menjaga masa depan bangsa.
Artikel Lain : Reforma Agraria dan Proyek Strategis Nasional [Editorial]
Penulis : Hana Khairunisa
Editor : Alda