Pertanian memiliki peran yang substansial bagi ekonomi juga sebagai penyumbang signifikan untuk Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Tetapi tantangan serius masih menjadi tantangan disejumlah daerah, seperti di Kabupaten Pandeglang, Banten.
Pandeglang merupakan wilayah agratis yang menyimpan potensi besar di bidang pertanian, juga sebagai salah satu pusat produksi pangan utama di Provinsi Banten. Dengan luas lahan sawah baku mencapai 52 ribu hentar dan total panen per Juni 2023 seluas 84 ribu hektar, produksi pangan semester-I mencapai 522.602 ton gabah kering basar, dilansir dari Banten Antara. Ini menunjukan Pandeglang berada di posisi strategis mendukung ketahanan pangan nasional.
Selain pencapaian tercatat tantangan besar di belakang, seperti kondisi alam yang rawan bencana, keterbatasan modal petani, dan ketiadaan kuota asuransi pertanian di tahun 2024, menghambat upaya swasembada pangan. Selain itu, meskipun ketersediaan pangan meningkat, pemanfaatannya belum optimal, sehingga menjadi cerminan dari tingginya stanting di Pandeglang.
Kesehatan menjadi persoalan serius, berdasarkan data satuan Tugas Percepatan Penurunan Stanting Provinsi Banten, bahwa pada 2023 terdapat 5.664 balita mengalami stanting di Pandeglang, dari jumlah tersebut 3.964 balita tergolong pendek dan 1.700 balita sangat pendek.
Meskipun terdapat tren penurunan dari 37,8% pada tahun 2021 menjadi 29,4% pada tahun 2022, angka ini masih jauh dari target yang ditetapkan. Bahkan, World Health Organization (WHO) memberikan batas standar prevalensi stunting, dimana jumlah angka stunting tidak boleh melebihi 20%. Artinya satu dari tiga anak di Kabupaten Pandeglang mengalami keterlambatan pertumbuhan akibat kekurangan gizi kronis.
Produksi pangan dan tingginya angka stunting di Pandeglang menjadi sebuah dilema: mengapa daerah dengan surplus pangan masih menghadapi masalah gizi yang buruk? Dan salah satu faktor penyebabnya adalah distribusi pangan yang tidak merata.
Sebanyak 90% hasil panen gabah oleh Pandeglang dipasok ke luar daerah, seperti Karawang dan Cirebon. Hal ini menyebabkan masyarakat lokal tidak sepenuhnya menikmati hasil pertanian daerahnya sendiri. Tingginya angka stunting di tengah surplus produksi pangan tersebut menunjukkan bahwa ketahanan pangan bukan hanya soal ketersediaan, tetapi juga soal aksesibilitas dan keberdayaan masyarakat dalam mengelola sumber daya pangan lokal.
Meskipun Pandeglang memiliki potensi besar dalam diversifikasi pangan dengan berbagai komoditas lokal seperti beneng, kumbili, dan sukun, pemanfaatannya masih minim. Serta, belum ada program besar-besaran untuk mengangkat potensi ini ke dalam pola konsumsi masyarakat sehari-hari, bahkan kurangnya edukasi dan pemahaman mengenai pentingnya diversifikasi pangan menyebabkan potensi tersebut belum tergarap dengan optimal.
Surplus dan stunting menunjukan ironi bahwa ketahanan pangan tidak hanya ditentukan oleh kuantitas produksi, tetapi juga oleh distribusi yang merata dan pemanfaatan yang tepat. Jika sebagian besar hasil panen diekspor ke luar daerah dan masyarakat lokal tidak mampu membeli atau mengakses makanan bergizi, maka ketahanan pangan secara substantif belum tercapai.
Upaya mendorong kemandirian ekonomi keluarga agar mampu mengonsumsi pangan bergizi belum terlihat signifikan. Padahal, hal tersebutlah yang menjadi kunci utama untuk memutus rantai kasus stunting. Selain itu, program edukasi gizi masih perlu diperluas cakupannya. Pemerintah daerah penting untuk membantu membangun kesadaran dan kebiasaan konsumsi pangan bergizi sejak dini, terutama di kalangan ibu muda dan calon ibu.
Stunting bukan hanya persoalan kesehatan, tetapi juga gambaran mengenai ketimpangan akses terhadap pangan, pendidikan, dan layanan dasar. Di Kabupaten Pandeglang, hal ini menjadi paradoks di tengah hasil pertanian yang melimpah. Artinya, ketahanan pangan tidak cukup diukur dari seberapa banyak hasil yang diproduksi, melainkan sejauh mana hasil tersebut mampu dirasakan dan menjadi tombak kesejahteraan bagi masyarakat lokal.
Program-program yang telah dijalankan oleh pemerintah harus diiringi dengan dorongan untuk meningkatkan kualitas dan jangkauannya. Diperlukan adanya komitmen politik yang kuat, kolaborasi lintas sektor yang efektif, dan tindakan nyata pemerintah di tengah masyarakat yang paling rentan. Dengan memastikan kesejahteraan masyarakat dalam akses dan konsumsi pangan yang cukup dan bergizi, adalah bentuk paling nyata dari membangun daerah yang berdaulat atas pangan dan manusia.
Artikel Lain : Reforma Agraria dan Proyek Strategis Nasional
Penulis : Dennis Lintang Octavianingrum
Editor : Alda