Tajuk Rencana | PENAMARA.ID – Pemberantasan korupsi oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) dibawah kepemimpinan Sanitiar [ST] Burhanuddin semakin masif. Sejumlah kasus yang diungkapkan mencapai triliunan, mencengangkan publik dan makin menunjukkan betapa parahnya korupsi di Indonesia.
Di antaranya, penyalahgunaan Izin Usaha Pertambangan (IUP) oleh PT Timah yang merugikan negara hingga Rp. 300 triliun. Skandal lain oleh perusahaan sawit, PT Duta Palma Group dengan kerugian negara Rp. 104 triliun.
Di tengah kelangkaan gas dan isu laut yang dieksploitasi swasta di berbagai daerah, pengungkapan korupsi justru bertambah, Kejagung membongkar korupsi di PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dengan kerugian Rp. 193 triliun.
Kasus yang terjadi di Pertamina semakin mencederai kepercayaan publik pada pemerintah, disaat masyarakat berupaya melawan wabah dan upaya mengembalikan kestabilan ekonomi, sekelompok orang dengan grup WhatsApp bernama “Orang-Orang Senang” melakukan pengoplosan Bahan Bakar Minyak (BBM) Pertalite RON 90 menjadi Pertamax RON 92.
Tak henti masyarakat mengikuti runtutan kasus-kasus tersebut, muncul juga korupsi terhadap pembangunan Jalan Tol Sheikh Mohammed bin Zayed (MBZ) yang merugikan negara dengan angka Rp. 510 miliar, tidak hanya kerugian tetapi tidak peduli akan keselamatan masyarakat yang sudah menggunakannya sejak 2019.
Meski pembangunan tol layang ini tidak dengan pendanaan dari pihak luar. Kepercayaan internasional terhadap Indonesia pun dipertaruhkan, sebab bangunan hendak dijadikan “penghormatan dan simbol hubungan” antara Indonesia dan Uni Emirat Arab, berani dipermainkan.
Menariknya, pemberantasan korupsi kembali agresif pada kepemimpianan baru Presiden Prabowo, padahal ST Burhanuddin telah menjabat sejak 2019. Hal ini memunculkan pertanyaan tentang konsistensi anti-korupsi di setiap pemerintahan.
Publik tentu berharap langkah agresif ini bukan sekedar membangun citra politik Presiden Prabowo agar terpilih kembali pada Pemilihan Umum 2029, melainkan upaya serius untuk membangun pemerintahan bersih —mengingat era Jokowi menunjukkan sikap aktif yang sama diawal masa jabatnya.

Data menunjukan bahwa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia cenderung stagnan. Pada awal pemerintahan Jokowi tahun 2014 skor berada di angkat 34. Angka sempat meningkat menjadi 40 pada 2019, tetapi kembali turun ke angka 34 pada 2022 – 2023. Jika ini kembali berulang, upaya pemberantasan korupsi diawal dan menurun diakhir jabatan menjadi tren palsu baru “melawan korupsi”.
Indonesia tidak bisa hanya berharap pada gebrakan awal. Korupsi adalah penyakit yang membutuhkan pendekatan dan penyelesaian yang sistematik serta berkelanjutan. Tidak cukup pada penangkapan besar-besaran yang hanya memamerkan pembongkaran kasus dengan “angka” triliunan jika sistem hukum masih longgar terhadap para pelaku.
Penegakan hukum juga harus konsisten, transparan, objektif, dan bebas dari kepentingan politik agar publik benar-benar merasakan perubahan yang nyata. Visi besar menuju Indonesia emas pada 2045 akan jadi milik segelintir kelompok, pemberantasan korupsi bukan sekadar membangun citra politik, melainkan komitmen panjang pemerintah yang bersih dan berintegritas.
Artikel Terkait :
RUU Perampasan Aset sebagai Janji yang Kembali Diingkari?
Kejagung Ungkap Kasus Korupsi Senilai 193,7 Triliun oleh Pertamina
Kontroversi Aturan Baru Gas Elpiji 3 Kg, Dampak Kebijakan Subsidi dan Distribusi
Kejagung Sita 301 Miliar Dugaan Tindak Pencucian Uang PT Duta Palma
Penulis : Devis Mamesah
Editor : Nurawaliah Ramadhani