PENAMARA.id — Memasuki satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran, wajah pembangunan nasional tampak gagah di permukaan. Pemerintah bangga dengan capaian investasi, pertumbuhan ekonomi yang stabil di atas 5 persen, serta gencarnya proyek hilirisasi mineral. Namun di balik narasi keberhasilan itu, ada fakta yang jauh lebih gelap seperti kerusakan lingkungan yang meluas, tata kelola tambang yang amburadul, dan kebijakan ekologis yang semakin longgar.
Kebijakan hilirisasi nikel dan dorongan investasi tambang memang menjanjikan devisa besar, tetapi dampak ekologisnya tidak pernah dihitung dengan serius. Lubang tambang di Kalimantan Timur, pencemaran sungai di Sulawesi Tengah, hingga deforestasi masif di Papua terus dibiarkan. Pemerintah seolah menganggap kerusakan lingkungan sebagai “biaya pembangunan” yang wajar. Padahal, setiap hektar hutan yang hilang berkelindan dengan hilangnya sumber air, oksigen, dan ruang hidup masyarakat adat.
Satu tahun ini memperlihatkan arah pembangunan yang lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi jangka pendek daripada keberlanjutan ekologis. Regulasi lingkungan cenderung dikendurkan atas nama kemudahan investasi. Banyak perusahaan tambang yang melanggar izin, meninggalkan lubang tanpa reklamasi, dan tidak menjalankan tanggung jawab sosialnya. Ironisnya, penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan nyaris tidak terdengar.
Pemerintah sering menggunakan istilah “transisi energi hijau” sebagai pembenaran, padahal praktik di lapangan justru memperkuat ketergantungan pada industri ekstraktif. Produksi nikel untuk baterai listrik, misalnya, memang disebut ramah lingkungan di tahap akhir, tapi proses penambangannya di Indonesia justru menimbulkan polusi udara, kerusakan tanah, dan konflik sosial di wilayah tambang. Konsep “energi bersih” menjadi paradoks ketika sumbernya justru berasal dari eksploitasi yang merusak.
Dampak sosial dari kebijakan tambang pun tidak bisa diabaikan. Konflik lahan meningkat, masyarakat lokal kehilangan sumber mata pencaharian, dan ruang hidup mereka terampas oleh izin konsesi besar. Alih-alih menciptakan kesejahteraan, tambang justru memperdalam ketimpangan ekonomi antarwilayah. Pusat-pusat industri kaya, sementara masyarakat sekitar tambang tetap miskin dan terpinggirkan.
Secara politik, pemerintahan ini tampak kuat di atas kertas, namun secara moral kehilangan pijakan ekologis. Negara lebih sibuk mengatur arus investasi ketimbang menegakkan keadilan lingkungan. Tidak ada arah kebijakan yang menunjukkan keberpihakan nyata kepada rakyat yang terdampak eksploitasi tambang.
Satu tahun ini menjadi cermin bahwa pembangunan tanpa etika lingkungan hanyalah proyek jangka pendek yang berujung pada krisis jangka panjang. Bila arah ini tidak diubah, pemerintahan Prabowo-Gibran akan dikenang bukan sebagai era kemajuan industri, melainkan periode di mana negara membiarkan alamnya runtuh demi pertumbuhan angka-angka ekonomi.
Baca lagi soal Kerusakan Lingkungan: Pulau Gebe di Titik Kritis; Gubernur Malut Wajib Bertanggungjawab
Penulis : Fiki Bahta
Editor : Boy Dowi