Oleh: Indri Damayanthi
Pagar laut dengan bambu sepanjang 30.16 kilometer, diklaim sebagai upaya mencegah abrasi, pengikisan tanah, dan juga tsunami di wilayah Pesisir Utara, tepatnya Kabupaten Tangerang – tidak efektif.
Struktur dan bentuk bambu yang ditancapkan tidak menggunakan metode yang tepat untuk menahan abrasi maupun tsunami. Pasalnya, jarak antar bambu yang telalu jauh tidak dapat memecah ombak atau menahan sedimentasi [pengendapan benda/partikel] laut.
Dibandingkan tanggul laut dari bambu yang diklaim oleh masyarakat dengan sistem Hybrid-Engineering (HE [pengabungan metode]) untuk digunakan oleh berbagai daerah dalam penanganan dan pencegahan abrasi.
Pemecah ombak dan pencegah abrasi menggunakan bambu memang lebih ekonomis, namun juga perlu diperhatikan struktur bangunan dan perawatan, sehingga dapat menahan sedimen dan rehabilitasi pesisir secara alami.
Menancap bambu di “dalam laut” lebih berkonotasi pemagaran, bukan tanggul penahan abrasi – apalagi tsunami. Namun demikian tidak menampik terhadap dampak baik maupun buruk bagi nelayan. Seperti:
Dampak baiknya terdapat nilai ekonomis bagi nelayan yang mencari kerang di pinggir pantai, sedangkan dampak buruk yang ditimbulkan yakni terhambatnya nelayan yang hendak mencari ikan di tengah laut karena harus menempuh jarak yang lebih jauh dari biasanya.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KPP), Ombudsman, Pejabat (Pj.) Gubernur Banten, dan Pj. Bupati Tangerang lebih baik melakukan pembongkaran dan mengumumkan secara jujur “pihak yang melakukan” pemagaran laut tersebut.
Artikel Lain : KKP Pertahankan Pagar Laut dengan Segel, SEMMI: Pagar Laut Harus Segera Dibongkar
Penulis : Indri Damayanthi
Editor : Topan Bagaskara