PENAMARA.id — Pernah nggak sih kalian ngebayangin, ketika intoleransi bisa menjadi beban tambahan bagi perempuan? Misal, ketika masih ada kota yang menolak kehadiran rumah ibadah tertentu. Kasus di Cilegon misalnya, kota yang sudah sering disebut kota intoleran. Sampai sekarang gereja resmi hampir tidak ada. Umat Kristen akhirnya harus pergi ke kota lain hanya untuk beribadah.
Sekilas orang menganggap itu “hanya perihal jarak”. Tapi kalau kita lihat lebih dalam, dampaknya sudah pasti dirasakan kepada perempuan. Kenapa? Karena sebelum berangkat ibadah, para perempuan khususnya ibu, sudah harus bangun paling pagi. Dia memasak sarapan keluarga, menyiapkan bekal anak, menyapu, beberes rumah, bahkan masih harus menggosok baju. Sementara anggota keluarga lain bisa lebih santai dibanding ibu yang sudah harus mulai maraton sejak subuh dan itu baru awal hari.
Setelah semuanya siap, perjalanan panjang menanti. Bayangkan, para perempuan ini harus menempuh puluhan kilometer hanya untuk kebaktian di hari Minggu. Ongkos transportasi terkadang lebih besar daripada uang persembahan yang dibawa. Kalau ada dua atau tiga anak yang ikut pastinya biayanya semakin membengkak. Belum termasuk capeknya di jalan yang panas, macet, atau harus berdesakan di kendaraan umum.
Sampai gereja, mereka memang bisa ikut ibadah. Tapi ketika waktunya pulang, beban dirumah sudah menunggu. Ibu masih harus memikirkan makan siang, mencuci piring, mungkin lanjut beres-beres lagi. Jadi satu hari Minggu yang seharusnya bisa jadi ruang istirahat rohani dan jasmani, tetapi justru berubah jadi hari paling melelahkan. Bukan karena ibadahnya, tapi karena jarak dan keadaan yang memaksa.
Kalau dipikir-pikir, ini bukan hanya soal kegiatan agama atau ritual. Ini soal keadilan sosial yang langsung menyentuh ke tubuh perempuan. Intoleransi dalam bentuk penolakan rumah ibadah membuat perempuan menanggung beban ganda yang begitu berat. Pertama, beban domestik yang memang sehari-hari sudah berat. Kedua, tambahan beban waktu, biaya, dan tenaga akibat jarak ibadah yang begitu panjang nan melelahkan.
Data soal ini juga ada di Setara Institute misalnya, dimana sudah lama menaruh Cilegon dalam daftar kota intoleran karena menolak gereja. Komnas Perempuan juga sering menekankan bahwa beban ganda perempuan itu nyata kqrena mereka bekerja tanpa henti di rumah tapi tidak diakui sebagai “kerja”. Kalau ditambah diskriminasi ruang ibadah, otomatis beban itu makin berlipat.
Coba bayangkan kalau ada 3 sampai 4 jam yang habis di jalan setiap minggu. Itu artinya 3 sampai 4 jam waktu istirahat ibu hilang. Kalau dihitung setahun, bisa lebih dari 150 jam hanya untuk perjalanan, belum termasuk ongkos bensin atau naik angkot. Semua itu jatuh ke pundak keluarga, tapi paling terasa bagi perempuan karena merekalah yang biasanya dituntut “mengatur semuanya”.
Ironisnya banyak orang masih bilang “ya sudah sabar saja” atau “kalau mau ibadah ya harus usaha”. Padahal bukankah negara harusnya menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan? Kenapa perempuan harus membayar dengan tenaga, uang, bahkan kesehatan mental untuk sesuatu yang mestinya dijamin dan menjadi hak bagi setiap warga negara tanpa terkecuali?
Kalau kita mau jujur, intoleransi itu tidak hanya memisahkan orang secara keyakinan, tapi juga membuat perempuan makin tertekan. Mereka kehilangan waktu istirahat, kehilangan kesempatan untuk punya “me time” bahkan kadang kehilangan peluang ekonomi karena energi yang sudah lebih dulu habis ketika mengurus urusan rumah yang ditambah dengan waktu perjalanan yang panjang.
Solusi sebenarnya sangat sederhana, biarkan rumah ibadah berdiri sesuai kebutuhan umatnya. Kalau ada gereja di Cilegon, umat bisa beribadah dekat dari rumah tanpa harus ke kota sebelah. Ibu-ibu bisa sedikit lebih tenang tidak perlu berangkat subuh, tidak perlu menghabiskan ongkos besar, dan bisa punya waktu lebih banyak buat diri sendiri.
Selain itu, penting juga adanya kesadaran di rumah tangga. Jangan sampai semua pekerjaan dilempar ke ibu. Kalau tempat ibadah jauh, anggota keluarga lain juga harus ikut ambil bagian seperti bergantian menyiapkan segala kebutuhan keluarga, membantu beberes, agar beban tidak hanya jatuh ke satu orang. Intoleransi memang masalah struktural, tapi pola pikir patriarkis di rumah juga bikin bebannya makin berat.
Ketika kita berbicara tentang toleransi, semua itu seolah hanya tentang “boleh atau tidak boleh ibadah”. Padahal, ada lapisan yang harus dilihat lebih dalam, siapa yang sebenarnya paling menderita saat akses ibadah ditutup? Jawabannya jelas adalah perempuan. Merekalah yang dipaksa kerja dua kali lipat, mereka yang harus mengorbankan waktu, tenaga, dan merogoh kocek lebih dalam.
Jadi, kalau kita bicara intoleransi, mari jangan berhenti di level wacana politik atau hukum saja. Mari kita lihat ke dapur rumah tangga, ke perjalanan panjang tiap Minggu, ke wajah ibu-ibu yang pulang ibadah tapi tetap harus kembali ke dapur. Dari sana kita sadar, intoleransi bukan hanya merusak hak beragama, tapi juga menindas perempuan secara diam-diam.
Kalau negara sungguh ingin menjamin kebebasan beribadah, berarti negara juga harus mengurangi beban ganda perempuan. Dan itu artinya, tidak boleh ada lagi kota yang menutup pintu rumah ibadah hanya karena mayoritas merasa berkuasa. Karena setiap jarak tambahan, setiap ongkos tambahan, setiap tetes keringat tambahan—semua itu jatuh ke pundak perempuan.
Baca lagi: Staf Gubernur Diduga Markup Dana Hibah untuk Gereja di Manado
Penulis : Agsel Jesisca
Editor : Redaktur