Jerit Pedagang Sayur di Tengah Gejolak Harga

| PENAMARA . ID

Sabtu, 12 April 2025 - 07:34 WIB

facebook twitter whatsapp telegram copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon copy

URL berhasil dicopy

Aktivitas Perdagangan | Sumber: Arsip Penulis

Aktivitas Perdagangan | Sumber: Arsip Penulis

Pangan sebagai kebutuhan mendasar bagi kehidupan manusia mesti terpenuhi setiap saat. Ketahanan pangan diartikan sebagai kemampuan seseorang atau kelompok dalam memenuhi ketersediaan pangan yang cukup, baik dari segi jumlah maupun kualitas, secara berkelanjutan. Jika penghuni dalam sebuah rumah tidak mengalami kelaparan dan tidak dihantui kekhawatiran untuk memenuhi kebutuhan pangannya, maka ketahanan pangannya dapat dikatakan terpenuhi.

Ketahanan pangan memiliki empat pilar utama, yaitu ketersediaan, akses, pemanfaatan, dan stabilitas pangan. Namun, ketika produksi mengalami penurunan dan distribusi tidak berjalan dengan baik, ketahanan pangan menjadi goyah. Akses pangan juga menjadi masalah besar, terutama bagi masyarakat dengan daya beli rendah yang semakin kesulitan mendapatkan bahan pokok akibat lonjakan harga. Pemanfaatan pangan yang berkualitas juga masih menjadi tantangan, karena tingginya harga bahan pangan sehat membuat masyarakat lebih memilih opsi yang lebih murah namun kurang bergizi. Stabilitas pangan, yang seharusnya menjamin ketersediaan pangan dalam situasi darurat, nyatanya masih rapuh, terlihat dari kenaikan harga yang terjadi setiap kali ada gangguan pada rantai pasokan.

Kondisi ketahan pangan di Banten mengalami dinamika yang cukup kompleks. Berdasarkan data Bahan Pangan Nasional, Indeks Ketahanan Pangan (IKP) Provinsi Banten mengalami peningkatan dari 73,78 pada tahun 2022 menjadi 78,71 pada tahun 2023. Namun, angka ini tidak selalu mencerminkan kondisi nyata yang dihadapi masyarakat, terutama bagi kelompok yang paling rentan, seperti pedagang kecil dan masyarakat berpenghasilan rendah. Produksi pangan yang menurun dan tingginya harga pangan semakin memperburuk keadaan.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), luas panen padi di Banten pada tahun 2024 diperkirakan turun sebesar 3,97% menjadi 298,84 ribu hectare, sementara produksi padi menurun 9,61% menjadi 1,52 ton Gabah Kering Giling (GKG). Penurunan ini berpotensi mempengaruhi harga beras di pasaran, terutama karena beras merupakan komoditas utama dalam konsumsi masyarakat. Selain itu, berdasarkan data milik Dinas Ketahanan Pangan Provinsi Banten menunjukkan bahwa terdapat 28 daerah di Banten yang masuk dalam kategori rawan pangan, yang berati akses pangan bagi masyarakat masih menjadi permasalahan yang harus segera diatasi.

Di tengah situasi yang penuh ketidakpastian ini, fluktusi harga pangan menjadi tantangan besar. Kondisi ini dirasakan langsung oleh pedagang kecil seperti Emak Enok (67 tahun), seorang pedagang sayur di Kabupaten Pandeglang, yang lebih dari 30 tahun menjalankan usahanya. Berbeda dari pedagang lainnya, Ia memilih membeli langsung dari grosir agar mendapatkan harga yang lebih stabil. Namun, harga bahan pangan tetap mengalami fluktuasi akibat faktor musim dan kesediaan stok di pasar. Sebagai contoh harga seledri bisa melonjak hingga Rp40.000 per kilogram saat tidak musim, tetapi turun drastis menjadi Rp8.000 per kilogram saat panen melimpah.

Hal ini sejalan dengan kondisi inflasi pangan di Banten, berdasarkan data yang diambil dari BPS Provinsi Banten, per Januari 2025, inflasi year-on-year tercatat sebesar 0,85% dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 105,49. Inflasi tertinggi terjadi di Kabupaten Pandeglang sebesar 1,73 persen dengan IHK sebesar 105,91. Angka tersebut menunjukkan bahwa kenaikan harga pangan masih menjadi permasalahan utama yang belum bisa dikendalikan secara efektif oleh pemerintah.

Fluktuasi harga ini memaksa pedagang untuk beradaptasi dengan berbagai strategi agar tetap bertahan. Salah satu caranya adalah dengan menyesuaikan porsi dagangan tanpa menaikkan harga terlalu tinggi. Di sisi lain, permintaan terhadap sayur juga mengalami kenaikkan dan penurunan sepanjang tahun. Pada hari-hari besar seperti bulan Ramadhan, Rajaban, Muludan, dan menjelang Lebaran, pembelian bisa meningkat hingga dua kali lipat dari biasanya. Namun, di hari-hari biasa, penjualan cenderung stabil atau menurun. Kondisi ini yang menuntut pedagang untuk pintar mengelola stok agar tidak mengalami kerugian akibat barang yang tidak terjual.

Pemerintah semestinya lebih serius dalam menangani ketahanan pangan dengan tidak hanya berfokus pada produksi, tetapi juga memperhatikan distribusi dan kebijakan harga yang berpihak kepada pedagang kecil. Program seperti Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) atau operasi pasar memang membantu dalam jangka pendek, tetapi tidak cukup untuk menciptakan sistem pangan yang adil dan berkelanjutan. Selama rantai pasok masih dikuasai oleh segelintir pihak dan harga bahan pokok tetap fluktuatif tanpa regulasi yang kuat, ketahanan pangan di Banten maupun di Indonesia secara keseluruhan akan terus menghadapi tantangan besar.

Di balik angka-angka statistik dan strategi perdagangan, ada wajah-wajah lelah para pedagang kecil yang setiap hari berjuang menghadapi harga yang tak menentu. Mereka tidak hanya bertaruh pada keuntungan, tetapi juga pada kelangsungan hidup mereka sendiri. Jeritan harga pangan bukan sekadar keluhan, tetapi sebuah kenyataan pahit yang harus mereka hadapi dengan segala daya dan upaya mereka.

Kehadiran pedagang sayur tidak hanya sekadar memenuhi kebutuhan masyarakat dalam mendapatkan bahan makanan, tetapi juga menjadi penghubung utama antara petani dan konsumen. Mereka memastikan distribusi pangan tetap berjalan di tengah ketidakstabilan harga dan tantangan ekonomi yang terus berubah. Mereka juga berperan sebagai garda terdepan dalam menjaga aksesibilitas pangan bagi masyarakat luas. Tanpa mereka, rantai pasok pangan bisa terganggu, memicu lonjakan harga yang lebih tajam serta memperburuk krisis pangan di tingkat rumah tangga.

Berdasarkan berbagai permasalahan yang ada, maka dapat disimpulkan bahwa sistem ketahanan pangan saat ini masih jauh dari kata ideal. Mulai dari produksi yang menurun, distribusi yang tidak merata, dan kebijakan yang tidak cukup melindungi pedagang kecil menjadi bukti nyata bahwa masih banyak hal yang harus dibenahi. Jika pemerintah tidak segera mengambil langkah konkret untuk mengatasi masalah ini, maka yang akan terus menjadi korban adalah masyarakat kecil yang semakin kesulitan mendapatkan pangan dengan harga terjangkau.


Artikel Lain : Reforma Agraria dan Proyek Strategis Nasional

Penulis : Khaila Syasya Nabila

Editor : Alda

Berita Terkait

Agama, Kuasa, dan Tubuh yang Dibungkam; Menelisik Kekerasan Seksual di Pesantren
Ketika Intoleransi menjadi Beban Tambahan bagi Perempuan
Perempuan, 1965, dan Luka yang Membekas
Mengenal Diri atau Sekadar Membuat Cerita?
Kemiskinan; Antara Sistem, Budaya, dan Prasangka Sosial
Islam, Zaman, dan Tantangan Berpikir: Bung Karno Menjawab Stagnasi Umat
Moralitas Antargenerasi: Menjaga Masa Depan yang Belum Hadir
Resensi Buku: Seni Mencintai – Erich Fromm
Berita ini 87 kali dibaca

Berita Terkait

Selasa, 21 Oktober 2025 - 11:11 WIB

Agama, Kuasa, dan Tubuh yang Dibungkam; Menelisik Kekerasan Seksual di Pesantren

Senin, 6 Oktober 2025 - 01:33 WIB

Ketika Intoleransi menjadi Beban Tambahan bagi Perempuan

Sabtu, 4 Oktober 2025 - 14:47 WIB

Perempuan, 1965, dan Luka yang Membekas

Minggu, 28 September 2025 - 14:12 WIB

Mengenal Diri atau Sekadar Membuat Cerita?

Rabu, 13 Agustus 2025 - 13:37 WIB

Kemiskinan; Antara Sistem, Budaya, dan Prasangka Sosial

Berita Terbaru