Film Bid’ah; Realitas Kekerasan Seksual dalam Bingkai Dogmatik

| PENAMARA . ID

Minggu, 20 April 2025 - 02:20 WIB

facebook twitter whatsapp telegram copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon copy

URL berhasil dicopy

Gambar: Freepik

Gambar: Freepik

Beberapa waktu lalu, Film Bid’ah yang tayang di negara Malaysia mulai pada 6 Maret 2025 mendapatkan antusias yang sangat besar dari masyarakat, bukan hanya dari Malaysia bahkan di Indonesia. Film Bid’ah sebenarnya realitas kekerasan seksual dalam bingkai dogmatik dimana tayangan tersebut mengangkat isu tentang sekte agama yang sesat serta kontroversial.Film Bid’ah ini sempat mendapat kecaman salah satunya dari Laskar Aswaja Aceh, yang menyebutkan bahwa film ini menyesatkan dan mencemarkan agama Islam. Pembina Laskar Aswaja Aceh, Tgk Umar Rafsanjani, mengecam keras film Bid’ah yang tayang di Malaysia. Ia menilai film ini tidak hanya menyesatkan, tetapi juga dapat memicu kebencian terhadap ulama dan menjadi senjata bagi pihak anti-Islam.

Berdasarkan sinopsis film Bid’ah, tayangan tersebut mengangkat isu tentang sekte agama yang sesat serta kontroversial. Beragam masalah yang menarik kita diekspos dari film tersebut. Tapifilm ini menurut saya turut memberikan pandangan terhadap realitas kekerasan seksual yang terbingkai dalam dogmatisme sehingga kasus kekerasan seksual ini terus terjadi terhadap perempuan.

Fenomena dalam film Bid’ah sebenarnya kerap kali juga terjadi di berbagai tempat yang berwatak keagamaan, salah satu contoh di pondok pesantren. Kita ambil contoh kasus pelecehan seksual di Pondok Pesantren Shiddiqiyah, Mochamad Subchi Azal Tsani yang menjadi terdakwa dan mendapatkan tujuh tahun kurungan penjara. Contoh lain yang dapat kita ambil adalah seorang Kiai di Trenggalek dan anaknya yang cabuli 12 santri, dimana kasus pencabulan tersebut sudah dilakukan sejak 2021 sampai 2024. Fenomena kekerasan seksual di lembaga pendidikan khususnya yang berbasis keagamaan ternyata tidak sanggup untuk memberikan ruang aman dan nyaman kepada para murid atau santrinya. Ini merupakan persoalan serius karena institusi pendidikan adalah tempat setiap anak mengembangkan kemampuannya, dan ketika rasa aman dan nyaman itu tidak ada, bagaimana mereka dapat mengembangkan seluruh potensi yang ada di dalamnya dengan maksimal.

Relasi kuasa sebagai salah satu faktor yang turut memperparah langgengnya kekerasan seksual ini menjadi senjata utama bagi para pelaku kekerasan seksual. Kita bisa menilik 2 contoh kasus yang sudah disebutkan diatas, bahwa pelaku kekerasan berada dalam posisi yang dominan dibandingkan dengan korbannya, sehingga perbuatan kekerasan seksual menjadi kian mudah untuk dilakukan karena relasi kuasa yang begitu kuat.

Dogmatisme yang melekat pada institusi keagamaan juga turut memperparah citra dan kebiasaan dalam lingkup pendidikan itu sendiri. Doktrin keagamaan seringkali dijadikan dagangan laris maris untuk membuat korban merasa berada pada posisi yang subordinat sehingga mereka terjebak dalam pusaran setan kekerasan seksual yang sudah terjalin selama beberapa tahun. Ini sebenarnya yang kemudian dapat memberikan citra buruk terhadap ajaran agama itu sendiri, padahal pelakunya adalah pemuka agama atau pimpinan tertinggi dari institusi terkait.

Dominasi laki-laki dalam kontruksi sosial juga kerapkali menempatkan laki-laki sebagai subjek pemegang kedudukan atau kekuasaan terhadap objek, sedangkan perempuan menempati kedudukan sebagai orang lain atau bahkan hanya menjadi objek dan bukan subjek utama bagi dirinya sendiri, seperti laki-laki. Ini kemudian terwariskan secara generasi peradaban kita, khususnya dalam institusi pendidikan bahwa realitas diskrimansi gender benar-benar terimplementasikan dengan baik. Maka, para pemimpin pondok pesantren dalam hal ini laki-laki, kerap menggunakan kekuasaan dominan nya untuk mendiskriminasi perempuan dengan berlindung dibalik ayat-ayat kitab suci sebagai legitimasi kekuasaan berlebih mereka.

Kasus Subchi yang merupakan seorang guru/wakil rektor di Pesantren Shindiqiyah dan memiliki usaha di lembaga pendidikan tersebut. Sementara korban adalah santriwati yang belajar di ponpes itu dan hendak melamar pekerjaan di tempat usahanya. Selain itu, ayah pelaku juga merupakan pengasuh ponpes. Ini ssemua adalah bentuk nyata dari relasi kuasa yang menyebabkan terjadinya kekerasan seksual. Maka, rantai setan ini perlu kita putuskan sebelum memakan korban lebih banyak lagi.

Dalam film Bid’ah sebenarnya dapat kita ambil pelajaran bahwa, relasi kuasa dalam institusi pendidikan berbasis keagamaan justru lebih mengerikan karena mereka berlindung dibalik jubah dogmatisme yang mereka tanam dalam setiap muridnya. Sehingga, pelanggengan terhadap kekerasan berbasis gender selalu menjadi sasaran empuk bagi para pelaku kekerasan seksual dalam institusi pendidikan berbasis keagamaan ini.

Realitas kekerasan seksual yang terjadi di institusi pendidikan kita khususnya yang berbasis keagamaan menjadi momok menyeramkan dari berbagai kasus kekerasan seksual yang terjadi. Fenomena gunung es ini kerapkali membuat kita semua tercengang sehingga dimana lagi kita bisa percaya bahwa masih ada ruang aman dan nyaman di institusi pendidikan itu sendiri, yang padahal berbasis keagamaan. Bingkai dogmatik kerapkali memperparah keadaan sehingga kita berada pada posisi yang sulit karena dogmatik itu sendiri yang ditanamkan adalah ajaran tentang keyakinan agama atau kepercayaan yang tidak boleh dipersoalkan. Dalam hal ini tidak terdapat ruang akademik yang bebas untuk mengutarakan isi pikiran sehingga doktrin menjadi alat utama dalam proses pendidikan tersebut.

Dari film Bid’ah realitas kekerasan seksual dalam bingkai dogmatik adalah kasus yang sangat dibutuhkan kehati-hatian baik itu dalam mencegah maupun penanganan nya. Dibutuhkan prespektif adil gender dalam mengaruni lautan kekerasan seksual khususnya di institusi pendidikan berbasis keagamaan semata-mata untuk memberikan peringatan serta edukasi yang informatif mengenai konsep adil gender. Pisau analisis feminisme sebenarnya cukup dibutuhkan untuk mematahkan dogma-dogma yang berkembang untuk mendiskriminasi perempuan, khususnya.

Untuk mendobrak realitas kekerasan seksual dalam bingkai dogmatik ini, kita sangat butuh strategi politik alternatif terhadap persoalan ini. Pentingnya pendidikan berbasis pengetahuan adil gender menjadi senjata utama yang dapat digunakan dalam kurikulum pendidikan kita. Walaupun tak dapat dipungkiri basis pemikiran serta kurikulum rujukan yang dijadikan selalu dalam bentuk dogmatik, namun kekuatan berfikir secara analitis juga menjadi senjata penting untuk menghadapi kasus kekerasan seksual yang sering terjadi di sekitar kita.


Artikel Lainnya: Jerat Kekerasan Seksual di Institusi Kesehatan

Penulis : Agnes Monica

Editor : Redaktur

Berita Terkait

Mengenal Diri atau Sekadar Membuat Cerita?
Kemiskinan; Antara Sistem, Budaya, dan Prasangka Sosial
Islam, Zaman, dan Tantangan Berpikir: Bung Karno Menjawab Stagnasi Umat
Moralitas Antargenerasi: Menjaga Masa Depan yang Belum Hadir
Resensi Buku: Seni Mencintai – Erich Fromm
Resensi Buku: Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno
Memahami Teori Kapitalisme Paling Chill
Saat Belajar Percaya pada Rancangan Semesta
Berita ini 145 kali dibaca

Berita Terkait

Minggu, 28 September 2025 - 14:12 WIB

Mengenal Diri atau Sekadar Membuat Cerita?

Rabu, 13 Agustus 2025 - 13:37 WIB

Kemiskinan; Antara Sistem, Budaya, dan Prasangka Sosial

Minggu, 13 Juli 2025 - 18:46 WIB

Islam, Zaman, dan Tantangan Berpikir: Bung Karno Menjawab Stagnasi Umat

Selasa, 24 Juni 2025 - 14:07 WIB

Moralitas Antargenerasi: Menjaga Masa Depan yang Belum Hadir

Sabtu, 31 Mei 2025 - 01:01 WIB

Resensi Buku: Seni Mencintai – Erich Fromm

Berita Terbaru

Gambar: Idam, Kader DPC GMNI Bombana

Sulawesi

Rapa Dara dan Bombana; Sebuah Pengaburan Identitas

Selasa, 30 Sep 2025 - 09:51 WIB

Gambar: Unsplash

Esai

Mengenal Diri atau Sekadar Membuat Cerita?

Minggu, 28 Sep 2025 - 14:12 WIB

08/11/2018 - Kraków, małopolskie / Poland: Fuel pump on the Shell gas station - night view

Nasional

Krisis BBM Swasta; Rapuhnya Sistem Pengelolaan Energi Kita

Minggu, 28 Sep 2025 - 13:55 WIB