Refleksi terhadap Pemilihan Umum lima tahunan di Indonesia
Nama Proudhoun mungkin tidak asing lagi dalam kajian-kajian literatur tentang anarkisme. Dalam perjalanannya sebagai seorang agen revolusioner anarki, Proudhon mempunyai cita-cita bagaimana membangun masyarakat Perancis yang adil dan makmur serta Sejahtera, memiliki keadaan kehidupan masyarakat yang harmonis antara kelas pekerja dan kelas borjuis. Maka, berangkat dari cita-cita mulia serta sangat kental dengan utopia itu, Proudhon beranggapan bahwa manusia itu sebenarnya lahir sebagai makhluk yang adil dan etis yang tentunya di lain kesempatan pemikiran ini yang kemudian ditentang keras oleh Marx.
Perlu diketahui, gagasan anarkisme ini seringkali mendapat respon negatif dari beberapa kalangan intelektual bahkan di kalangan masyarakat kita sendiri, bahwa anarkisme disampaikan dengan kekacauan, kekerasan, dan hal-hal yang cenderung negatif. Padahal, Proudhon sendiri menyebutkan bahwa anarkisme adalah sebuah konsep tentang masyarakat bebas yang disatukan oleh asosiasi atau kontrol pekerja terhadap alat-alat produksi. Namun, untuk membahas lebih lanjut soal metode berpikir Proudhon atau teori yang digagas olehnya mungkin bisa dibahas di kesempatan lain.
Hal yang cukup menarik adalah, seorang anarkis seperti Proudhon pada April tahun 1848 mencalonkan diri dalam pemilihan umum dewan konstituante di Paris namun gagal dan yang cukup mendapat perhatian penulis adalah kampanye yang digaungkan adalah “ kebenaran terbesar dalam abad ini adalah persetujuan terhadap properti sebagai sebuah kebutuhan untuk menghapuskan kemiskinan sbg sebuah syarat bagi pengajuan proletariat. ” Pada bulan Juli, Proudhon tidak menyerah dan kembali mengikuti pemilihan umum dewan konstituante yang kemudian terpilih.
Kampanye yang digaungkan oleh Proudhon mungkin hari ini sudah tidak berlaku di Indonesia terlebih lagi di kalangan masyarakat karena mungkin mempercayai masyarakat yang kemudian menurun terhadap pemilihan umum lima tahun ini, dan ini semua memiliki sebab-akibatnya sendiri. Analisis saya yang pertama adalah siklus politik atau dinamika politik di Indonesia yang sarat dengan kepentingan beberapa kelompok yang kemudian memberikan kabut gelap terhadap harapan masyarakat Indonesia itu sendiri. Lalu analisis saya yang kedua adalah pemerintahan hari ini yang cenderung memiliki karakter kapitalistik nan neo-lib yang kemudian selalu berimbas terhadap kelas masyarakat yang minim akses baik itu terhadap ekonomi maupun hukum sehingga corak ‘ si kaya makin kaya dan si miskin makin miskin ‘ selalu abadi dan mengakar hidup di dalam masyarakat Indonesia.
Alasan-sebab itu kemudian berimplikasi terhadap pemilihan umum lima tahunan di Indonesia, dan menurut saya kurang mendapatkan perhatian khusus lagi dari masyarakat menurun karena kepercayaan masyarakat. Ditambah lagi, pada calon-calon pemimpin ini belum memiliki gagasan perubahan yang radikal dan spirit yang bercorak kerakyatan sehingga tidak mempunyai satu tujuan yang jelas dan hanya fokus pada agenda-agenda tahunan yang sifat politis hanya untuk mempertahankan kekuasaan untuk kelompoknya dan tidak mempunyai harapan terhadap perubahan yang minimal dalam tahap evolusi kalau memang belum mampu ke tahap revolusi.
Maka saya melihat bahwa calon-calon pemimpin bangsa Indonesia sebenarnya dapat belajar dari seorang agen revolusioner anarkis bernama Proudhon ini, betapa pentingnya seorang calon pemimpin mempunyai metode berpikir, kerangka berpikir yang super kuat untuk dijadikan pijakan dalam membangun masyarakat yang adil dan sejahtera. Gerakan di Indonesia saat ini sibuk dengan agenda politiknya masing-masing dan cenderung tidak didasari pada metode berpikir yang jelas dan justru lebih dipengaruhi oleh pangalaman politik praktis yang kemudian disarikan sebagai sebuah teori. Padahal, penting yang harus kita semua sadari adalah bahwa antara teori dan sejarah adalah dua hal yang berbeda dan kita selalu terjebak di dalamnya.
Alasan saya cukup tergugah oleh narasi kampanye Proudhon karena menurut saya kita sebagai bangsa yang besar dan juga mempunyai sejarah dinamika perjuangan yang begitu besar pula, seharusnya calon pemimpin bangsa kita lebih bisa menawarkan gagasan dalam kerangka membangkitkan semangat bangsa Indonesia untuk bangkit dari keterpurukan dan kehilangan bangsa kita dari cengkraman investorme yang kian hari kian menghisap masyarakat.
Seharusnya kita sebagai sebuah bangsa yang besar saling bahu membahu untuk bersatu dalam membangun gerakan yang progresif demi menghasilkan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera. Pemilihan umum di Indonesia kerapkali hanya dijadikan ajang kontestasi lima tahunan yang minim perubahan, cenderung tidak menghasilkan perubahan, dan berakhir pada masyarakat yang individualistik dan kita selalu kalah pada narasi ‘ si kaya makin kaya, dan si miskin makin miskin ‘.
Saya melihat semangat kampanye yang Proudhon gaungkan adalah cerminan terhadap siklus pemilihan umum lima tahunan di Indonesia yang meminimalkan gagasan serta perubahan. Kita sibuk dengan narasi-narasi yang sifatnya tidak membangun dan jauh dari kepentingan bangsa, dengan narasi-narasi yang sifatnya tidak melahirkan suatu proyek nasional yang berpijak pada kemaslahatan rakyat bukan kemaslahatan investor asing. Bahkan yang lebih parahnya lagi, kita selalu terjebak dalam perpecahan kontestasi politik nasional ini dan selalu dengan mudahnya terhegemoni oleh politik kotor yang dibangun oleh calon-calon pemimpin bangsa kita.
Kampanye yang disampaikan oleh Proudhon sebenarnya cukup mempunyai taring dan daging di saat yang bersamaan dan memberikan saya sebuah harapan, walaupun hanya secercah harapan, namun dari Proudhon sebenarnya kita semua bisa belajar bagaimana membangun narasi yang kritis dan radikal di tengah desakan pikuk pemilihan umum lima tahunan ini yang semakin lama semakin jauh dari cita-cita Pancasila.
Sampai saat ini, menurut saya belum ada gagasan yang baru atau segar yang kemudian menggungah dan menguntungkan rakyat secara umum. Narasi politik hari ini masih seputar gagasan yang banyak, belum memberikan harapan terhadap kesejahteraan sosial, dan masih terjebak dalam framing politik yang sarat akan kepentingan beberapa golongan. Dari sini lah harusnya kita semua belajar bagaimana membangun paradigma berpikir yang sehat dan kritis dalam melihat persoalan ini, agar kita semua sebagai konstituante tidak putus asa terhadap pemilihan umum itu sendiri dan tetap berpengharapan terhadap hal-hal baik yang tentunya, serta dapat melahirkan narasi politik yang kritis dan radikal.
Dari Proudhon kita belajar, bahwa agenda politik diperlukan gagasan politik yang radikal untuk melakukan perubahan di dalam masyarakat. Hari ini, jika kita serius untuk menghentaskan kapitalisme dan agenda politik yang bersifat neo-lib dan tidak pernah menguntungkan rakyat Indonesia sama sekali harusnya kita punya pisau analisis yang kuat untuk melawan itu semua dan kita tidak boleh berkompromi kepada calon penguasa yang dekat agenda politik kapitalistik, sehingga terciptalah masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera. Seperti cita-cita kita semua.
Artikel lain : Resensi Buku Atomic Habits – James Clear
Penulis : Agnes Monica
Editor : Redaktur