Tajuk Rencana | PENAMARA.ID – Peringatan Hari Buruh 1 Mei lalu di kawasan Monas telah membuat gerakan oposisi alami masyarakat semakin melemah. Di hari yang sama, para aktivis dan buruh yang memilih turun ke jalan mengalami tindakan represif, puluhan di antaranya ditangkap.
May Day tahun ini menunjukan secara jelas siapa elit-elit pemisah kelompok masyarakat, siapa kelompok pro-populis dan siapa yang pura-pura popolis. Pola membendung gerakan kampus juga dilancarkan sejak bulan April, ketika banyak kelompok atau mimbar diskusi secara terang-terangan didatangi oleh TNI.
Dapat kita cermati, perangkat keamanan negara diperankan sebagai “instrumen penenang” bagi kekuasaan pada situasi instabilitas sosial dan ekonomi yang menggerogoti dari luar dan dalam. Masyarakat diminta mendukung segala kegiatan dan kebijakan pemerintah, tanpa ruang dialog atau konsep yang inklusif.
Selang pesta demokrasi kemarin, kita justru dihadapkan dengan ancaman demokrasi — bukan melalui kudeta atau senjata sebagaimana sejarah kelam 1966 atau 1998, tetapi lewat pelemahan dan pengendalian terhadap organisasi sipil, insan akademis, bahkan lembaga-lembaga pers.
Narasi seperti gerakan sipil dalam “pengaruh kepentingan luar” atau tuduhan bahwa demostrasi adalah bentuk “violence movement” [gerakan dengan kekerasan] telah menjadi alat yang efektif untuk mendeligitimasi oposisi. Membuat publik meragukan niat aktivis yang dibingkai sebagai perpanjangan kepentingan atau kelompok anarkis.
Penguasa dan pengusaha telah sadar bahwa segregasi terhadap aktivisme lebih efektif diluar jeruji besi — lewat tembok tak kasat mata yang memisahkan mereka dari kehidupan publik, akademik, dan bahkan dari rakyat itu sendiri. Mereka menjadi kelas sosial baru: para pembangkang yang harus dibungkam, diasingkan, dan diputus dari akar sosialnya.
Masa lalu, gerakan aktivis sering kali menjadi sumbu dari oposisi independen yang sah secara moral, intelektual, dan sosial. Tapi sekarang, dipaksa berdiri sendirian, dijauhkan dari panggung politik formal, dan didekatkan dengan sentimen negatif masyarakat luas — dibaliknya terselip narasi utama, bahwa “oposisi adalah ancaman”.
Kita sedang menyaksikan cara baru melemahkan oposisi. Bukan dengan membubarkan partai, tetapi dengan menceraikan aktivis dari politik itu sendiri. Gerakan sipil dirapuhkan agar kehilangan koneksi, kehilangan pengaruh, dan akhirnya kehilangan daya dorong sosialnya.
Maka penting bagi masyarakat sipil untuk tidak sekadar “mendengarkan” aktivis, tetapi bersatu dengan mereka. Karena yang sedang dipisahkan hari ini bukan hanya aktivis sebagai oposisi, tapi rakyat dari kekuatan yang seharusnya membela mereka. — Kita kecualikan para aktivis yang berkedok moral palsu dan landasan akademis yang rapuh.
***Artikel diralat (31/05/2025) akibat salah penulisan kata pada judul
Judul sebelumnya: “Segresi Aktivis di Indonesia”
Artikel Lain :
May Day; Sebuah Gerakan Mengungkap Pertentangan Kelas
Mahasiswa dan Pelajar Se-Tangerang Raya Peringati Hari Buruh
Dari Rantai ke Slip Gaji: Evolusi Halus Perbudakan
Peringatan Hari Buruh 2025; Persatuan Himpunan Mahasiswa Hukum Turun ke Jalan dengan Simbolik Lilin
Membaca Ulang Peta Ideologi Politik Indonesia
Penulis : Devis Mamesah
Editor : Nurawaliah Ramadhani