Tajuk Rencana | PENAMARA.ID – Konflik agraria sebagai perselisian utama Indonesia menjadi tantangan dalam kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, tetapi isu menjadi semakin keruh dan kompleks untuk diselesaikan. Persoalannya dapat berdampak luas pada berbagai aspek masyarakat.
Seperti pembangunan Rempang Eco-City di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, yang hendak merelokasi warga setempat tetapi menuai penolakan. Proyek tersebut dikelola oleh PT Makmur Elok Graha (MEG), anak perusahaan Grup Artha Graha milik konglomerat TW alias Tomy Winata.
Penolakan Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco-City mulai menjadi perhatian nasional sejak September 2023, atas kecemasan lingkungan dan sumber pencaharian. Proyek yang dirancang untuk kawasan industri dan pariwisata menimbun warisan budaya serta hak atas tanah.

Rempang Eco City | Sumber: Edisi.co
Serupa dengan tambang batu andesit sebagai bahan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan Bendungan Bener di Desa Wades, Purworejo, Jawa Tengah, menuai penolakan warga sekitar. Upaya penambangan ini mengakibatkan masyarakat kehilangan 124 hektar tanah yang mana lahan tesebut menghasilkan banyak komoditas agrikultur.
Kekuatiran warga Desa Wades benar terbukti jika PSN tersebut tidak mendahulukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Sehingga untuk pertama kali banjir merusak rumah warga pada 27 Maret 2023 dan terakhir banjir lumpur serta longsor melanda wilayah tersebut 23 November 2024.
Selain perampasan lahan dan pelanggaran HAM, konflik agraria juga telah menyebabkan kematian, seperti yang terjadi pada Gijik (35), seorang warga Desa Bangkal, Seruyan, Kalimantan Tengah setelah berbulan-bulan menuntut perusahaan sawit PT Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP).
Gijik yang tertembak pada 7 Oktober 2023 saat bersama warga Desa Bangkal memblokir akses HMBP yang dipicu janji pemberian lahan 2 hektar bagi setiap keluarga yang tak ditepati. Sedangkan,
Iptu Anang Tri Widodo, perwira polisi yang menembak [Gijik] hingga tewas, divonis hanya 10 bulan penjara pada tanggal 10 Juni 2024 —wajar janji diingkar, jika menghilangkan nyawa yang mungkin masih bisa dijalani 35 tahun lagi hanya diganjar 10 bulan penjara.

Lumbung Pangan (Food Estate) di Marauke, Papua Selatan merupakan canangan yang juga sembunyi di balik PSN, akibat ketiadaan-AMDAL saat proyek dimulai, menimbulkan kekhawatiran terjadinya konflik agraria bagi masyarakat sekitar yang masih hidup secara tradisional.
Kehadiran militer untuk mengawal proyek seluas 2 juta hektar ini, mulai ditunjukan pemerintah sejak awal Oktober 2024 lalu, menambah ketakutan bagi masyarakat Marauke. Sesuai yang disampaikan Komnas (Komisi Nasional) HAM, bahwa Food Estate tersebut bisa meluas ke konflik HAM.
Konsesi sawit seluar 36 ribu hektar di Kabupaten Boven Digoel melengkapi kegelisaan masyarakat Papua Selatan, dan meski hidup secara tradisional, masyarakat Suka Awyu dan Moi tetap mengupayakan jalur permohonan kasasi agar izin konsesi tersebut dibatalkan —tentu permohonan tersebut tersebut tidak dikabulkan Mahkamah Agung.
Lebih dari sepekan yang lalu (7/2) melalui Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni, Presiden Prabowo ingin mencabut 18 perusahaan pengelola hutan seluas 526 hektar. Keputusan yang diambil karena perusahaan-perusahaan tersebut tidak maksimal dan tidak melestarikan hutan.
Alasan keputusan tersebut berbanding terbalik dengan tindakan Presiden Prabowo yang berencana menambah ekspansi perkebunan sawit yang semakin memicu konflik agraria di Indonesia serta berbagai dampak negatif lain, seperti yang telah diuraikan sebelumnya.
Sepanjang 2024, terjadi peningkatan signifikan ranah konflik agraria di Indonesia, yang dicatat Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA.org.id) sebanyak 295 letupan konflik agraria terjadi di tahun 2024, meningkat 21% dibanding tahun 2023 sebanyak 241 konflik.
Melihat lonjakan konflik agraria yang meningkat signifikan, pemerintah perlu lakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan PSN. Keputusan yang hanya berorientasi pada investasi tanpa memperhatikan hak masyarakat dapat memicu ketegangan sosial berkepanjangan.
Pemerintah harus lebih transparan, melibatkan masyarakat secara aktif dalam perencanaan, memperhatikan Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan terkait, serta memastikan setiap proyek memiliki AMDAL yang jelas sebelum dijalankan.
Artikel Terkait :
Penolakan Masyarakat Desa Bobo atas Pendirian Perusahaan Tambang IMS
Reaksi Protes dari Masyarakat Desa Sungai Bungur dalam Mempertahankan Hak atas Lahan Skatol
Misteri Pagar di Pesisir Utara Tangerang: 30 Kilometer yang Bikin Resah, Siapa Dalangnya?
Penulis : Devis Mamesah
Editor : Nurawaliah Ramadhani