Oleh: Sarjan H. Rivai
PENAMARA.id — Pulau Gebe di Maluku Utara kini berada di titik kritis. Pulau kecil yang dahulu dikenal dengan laut biru dan hutan tropis yang lebat kini sudah berubah menjadi lautan lumpur merah akibat aktivitas pertambangan. Air laut yang menjadi sumber hidup masyarakat pesisir kini sudah tercemar parah. Lumpur dari aktivitas tambang mengalir bebas ke perairan, merusak terumbu karang, biota laut, dan ruang hidup nelayan.
Pulau seluas 224 kilometer persegi itu dahulu menjadi rumah bagi kakatua putih dan berbagai satwa endemik. Namun, sebagian besar kawasan hijau kini digunduli demi kepentingan tambang. Sedimentasi berat di pesisir menyebabkan nelayan kehilangan ruang tangkap. Air laut tak lagi jernih, dan hasil tangkapan turun drastis dalam beberapa tahun terakhir.
Hutan tropis rendah yang menopang sumber air bersih turut hilang. Warga kini mulai merasakan dampak kekeringan dan krisis air tawar selama musim tertentu. Berdasarkan temuan di lapangan, ada tujuh izin tambang nikel yang menguasai Pulau Gebe. Salah satunya PT Karya Wijaya, perusahaan yang disebut dimiliki oleh Gubernur Maluku Utara, Sherly Laos.
PW SEMMI Maluku Utara menduga bahwa tambang yang dijalankan PT Karya Wijaya telah melampaui batas kewajaran dan merusak lingkungan secara sistematis. “Kami melakukan investigasi lapangan dan menemukan laut telah tercemar akibat praktik penambangan ilegal oleh PT Karya Wijaya. Gubernur Sherly Laos wajib bertanggung jawab” tegas Ketua SEMMI Malut, Sarjan H. Rivai.
Ia menambahkan bahwa kerusakan ini tidak hanya memusnahkan keanekaragaman hayati, tetapi juga memukul ekonomi warga yang bergantung pada laut dan tanah. “Produktivitas pertanian dan perikanan menurun drastis, sumber air tawar ikut hilang. Dampak ini bukan lagi potensi, tapi sudah nyata dirasakan masyarakat” ujarnya.
Sarjan menyoroti sikap kontradiktif Gubernur Maluku Utara yang kerap kali menggaungkan isu pelestarian alam, namun justru mengekspolitasi pulau kecil tanpa memperhatikan keberlanjutan lingkungan. “Dalam banyak kesempatan dia bicara soal menjaga lingkungan, tapi faktanya dia sendiri ikut merusak sumber daya alam demi kepentingan tambang,” sindirnya tajam.
Sarjan, Ketua PW SEMMI Malut mengingatkan bahwa aktivitas tambang di pulau-pulau kecil dan pesisir dilarang tegas oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Larangan tersebut kian kuat setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023 yang ditetapkan sembilan hakim konstitusi pada 21 Maret 2024. Namun seluruh perangkat hukum itu seolah tak berarti di Pulau Gebe. SEMMI Malut menegaskan, jika pemerintah daerah terus membiarkan perusakan ini, maka Pulau Gebe hanya tinggal nama tanpa masa depan.
Baca lagi: Sekda Tidore Diduga Korupsi 4,8 Miliar; Formapas Siap Laporkan ke KPK
Penulis : Sarjan H. Rivai
Editor : Redaktur