Kalimantan Barat, tepatnya Kabupaten Bengkayang kini memiliki Gudang dan Dryer Jagung “Pangan Merah Putih”. Berdiri di atas lahan seluas 6 hektar, fasilitas ini sanggup menampung 5.000 ton jagung dan mengelolah 300 ton per hari. Namun kehadirannya apa benar menjadi angin segar bagi nafas petani kecil sekitar?
Lumbung ini diinisiasi PT Pangan Merah Putih Ras Borneo Nusantara, dengan sokongan pemerintah Kabupaten Bengkayang dan Polda Kalbat, memang menjanjikan penguatan ketahanan pangan dan nilai tambah hasil panen.
Namun, sebetulnya langsung ternoda dengan pembukaan lahan seluas 1 juta hektar oleh Lanud Harry Hadisoemantri. Inilah wajah asli “ketimpangan” muncul. Alih-alih memberdayakan petani lokal yang selama ini menggarap tanah dengan peluh, kebijakan ini justru meminggirkan mereka.
Hasil panen dari lahan raksasa itu langsung disedor untuk memenuhi perut gudang, mengubah petani yang seharusnya tuan di tanah sendiri menjadi sekadar penonton yang gigit jari — sungguh ironi bagi mereka yang masih harus terpapah.
Jalan keluar mestinya bukan dimulai pada perluasan lahan secara serakah dengan modal atau proyek mecusuar, kuncinya ada di desa-desa dan berhenti dengan model eksploitatif. Daripada menggusur petani dengan lahan jutaan hektar, mengapa tidak alihkan energi dan anggaran untuk menguatkan lumbung bagi setiap desa.
Dukung tani hingga mereka mampu berdiri tegak mandiri, lalu bermitra langsung dengan fasilitas seperti “Pangan Merah Putih”. Bayangkan jika Pak Sardi dan Bu Aminah, petani jagung di Bengkayang bisa menjual hasil jerih payah langsung ke gudang itu dengan harga asil, tanpa harus melalui tengkulak atau dipangkas sistem rumit. Ini bukan sekadar mimpi, tapi persoalan nyata yang jauh lebih manusiawi dan berkelanjutan.
Pada titik inilah keadilan distributif dijalankan dengan tepat. Ketika kebijakan pangan nasional mengabaikan petani lokal sebagai “pelaku utama”, yang terjadi malah akumulasi kekuasaan dan keuntungan di segelintir pihak.
Proyek besar tanpa komitmen keadilan, hanya akan menjadi alat baru bagi dominasi negara dan korporasi atas nasib petani. Mereka tetap terperangkap dalam kerentanan, sementara gudang megah berdiri sebagai monumen ketidakadilan.
Menetapkan pendekatan ekonomi kerakyatan yang konkret, berarti memaksa fasilitas seperti “Pangan Merah Putih” untuk membeli bahan baku langsung dari petani lokal dengan harga wajar dan kontrak jangka panjang yang mengikat; serta mengalihkan dukungan serius ke program pelatihan dan pendampingan intensif bagi petani, bukan sekadar proyek fisik — biarkan mereka memiliki kapasitas bersaing di pasang dengan kepala tegak.
Evaluasi ulang arah pembangunan pertanian kita bukan pilihan, tapi keharusan. Inklusifitas yang sungguh-sungguh menempatkan petani kecil sebagai subjek dan pemilik kedaulatan — bukan sekadar objek kebijakan atau sumber tenaga murah — adalah satu-satunya jalan menuju ketahanan pangan paling sejati.
Barulah nanti Gudang Jagung Pangan Merah Putih di Bengkayang bisa benar-benar kita banggakan bukan hanya sebagai bangunan, tetapi sebagai simbol keadilan dan kesejahteraan yang merata untuk petani Indonesia.
Artikel Lain :
Stunting di Tengah Surplus Panen jadi Ironi Pandeglang
Menjaga Pangan dan Keberlanjutan Tani
Ketahanan Pangan Dimulai Dengan Mengatasi Tantangan
Penulis : Charles Pasi
Editor : Boy Dowi