Awal kumunculan BRICS (akronim dari: Brazil, Rusia, India, China, dan South Africa/Afrika Selatan) menjadi “harapan” penentang baru atas dominasi negara-negara Barat, kemudian diprediksi akan menyalip pertumbuhan ekonomi organisasi multilateral lain seperti Group of Seven (G7).
G7 sendiri berisikan negara Oldefo (Old Established Forces) seperti Amerika Serikat (AS)-Inggris, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, dan Jepang. Beberapa negara Uni Eropa juga memiliki kursi di G7 untuk mewakili Belgia, Belanda, Polandia, Spanyol, dan Swedia.
Meski keanggotaan BRICS terus bertambah, seperti Iran, Mesir, Etiopia, Uni Emirat Arab (UEA), serta Indonesia yang resmi bergabung 6 Januari 2025. Keseriusan dan kekompakan BRICS dalam menentang mata uang dolar AS sebagai alat perdagangan internasional dipertanyakan.
Sejak kembali dipimpin Donald Trump, AS mengancam menaikan pajak bagi negara-negara anggota BRICS, terutama Tiongkok, yang terang-terangan membalas AS dengan tindakan sama. Selain sentimen Trump kepada Tiongkok yang memang sudah lama, alasan lainnya adalah isu de-dolarisasi.
Buru-buru menghindari dari keterlibatan isu de-dolarisasi, Afrika Selatan menyampaikan bahwa diskusi BRICS (di Rusia 24/10/2024) hanya fokus pada “perdagangan antarnegara anggota [untuk] menggunakan mata uang nasional sendiri,”. Dan dedolarisasi “lebih merupakan narasi di beberapa bagian media,” ucap Shaktikanta Das, Gubernur Bank Sentral India.
Transaksi dua negara menggunakan mata uang nasional masing-masing atau Local Currency Settlement (LCS) justru sudah mendapat penolakan dari negara yang baru bergabung dengan BRICS. Sebab dikuatirkan akan mengganggu cadangan devisa negara, artinya —meski keluar dari negara agresif, “greenback” masih dianggap “stabil dan terpercaya” terutama negara yang ditopang dari hasil minyak dan gas bumi.
Presiden Brasil, Luiz Inácio Lula da Silva yang telah lama mendukung alternatif dari dolar AS, melunakkan pendiriannya mengenai: mata uang bersama BRICS, lalu berfokus tentang regulasi pada sistem LCS. Brasil sebagai tuan rumah BRICS 2025 berperan penting mendorong “BRICS Pay”.
Meski dua negara inti dan negara yang baru bergabung dengan BRICS mendapat tekanan geopolitik dari AS. Rusia dan Tiongkok sebagai pemrakarsa utama, tampak tak tergoncang dengan sanksi ekonomi AS, dan justru membuat mereka bertindak segera. Alasannya:
Jika melihat kembali, terbentuknya BRICS sebagai upaya Rusia tak terjerat sanksi dari negara Barat dan meluaskan visi Tiongkok tentang Belt and Road Initiative (BRI/Inisiatif Sabuk dan Jalan). Untuk itu “mata uang BRICS” hanya tinggal menunggu “waktu dan keseriusan” agar terwujud.
· · ·
Indonesia sendiri resmi mendukung New Development Bank (NDB), bank yang didirikan BRICS. Hal ini diumumkan secara resmi oleh Presiden Prabowo Suianto, bersamaan dengan kunjungan Presiden NDB Dilma Rousseff ke Indonesia bulan lalu (25/3).
Sepertinya, selain keseriusan dan waktu, kendala logistik juga melanda BRICS Pay. Menko Airlangga Hartarto menuturkan salah satu syarat keanggotaan BRICS dengan investasi dalam bentuk uang. Meski pemberiannya diberi jenjang waktu, syarat BRICS tentu menjadi tantangan ditengah Rupiah yang menurun dan sudah mendekati rekor terlemahnya [krisis 1998].
Namun, jika AS terus menggunakan mata uangnya sebagai sandra geopolitik, sedapat mungkin sistem BRICS Pay untuk didorong —internal NDB persoalan lain yang perlu diawasi secara ketat oleh negara anggota— sebagai upaya bersama Negara Global Selatan menuju kemajuan.
Artikel Lain :
AS dengan Trump yang Agresif
Tekanan Eropa oleh Rusia-Tiongkok dan Amerika Serikat
Penulis : Devis Mamesah
Editor : Redaktur






