Sumpah Pemuda, Tugas Baru Membebaskan Pikiran Bangsa.

| PENAMARA . ID

Rabu, 29 Oktober 2025 - 00:21 WIB

facebook twitter whatsapp telegram copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon copy

URL berhasil dicopy

Setiap 28 Oktober, bangsa ini kembali menoleh pada satu momentum historis yang begitu monumental: Sumpah Pemuda. Tiga kalimat pendek yang lahir dari tekad menyatukan bangsa di tengah penjajahan, kini seolah hanya bergema di ruang upacara. Namun di tengah zaman yang kian disruptif — ketika teknologi menguasai ruang batin manusia dan informasi berubah menjadi senjata — semangat Sumpah Pemuda justru menuntut kelahiran kembali.

Pandangan dua rektor di Kota Tangerang, Desri Arwen dari Universitas Muhammadiyah Tangerang dan Muhamad Qustulani (Gus Fani) dari STISNU Nusantara, memberikan refleksi mendalam: bahwa generasi muda hari ini menghadapi penjajahan yang jauh lebih halus, tetapi tak kalah berbahaya — penjajahan pikiran, moral, dan kesadaran.

Era disrupsi bukan sekadar istilah ekonomi atau teknologi. Ia adalah guncangan total terhadap tatanan nilai dan cara berpikir manusia. Teknologi yang dulu dirancang untuk memudahkan kehidupan, kini kerap menjadi sumber kebingungan dan keterpecahan sosial.

Rektor UMT, Desri Arwen, menegaskan bahwa “pemuda harus bersikap positif, aktif, proaktif, konstruktif, dan kontributif,” di tengah gangguan dari segala arah. Pernyataannya bukan sekadar nasihat moral, tetapi juga panggilan untuk membangun daya adaptif yang berakar pada nilai. Dalam teori resilience sosial, kekuatan suatu generasi tidak ditentukan oleh seberapa cepat ia berubah, melainkan seberapa kuat ia bertahan menjaga prinsip di tengah perubahan.

Kini, tantangan terbesar pemuda bukan lagi senapan penjajah, melainkan algoritma media sosial yang menjerat kesadaran kolektif. Mereka tidak dijajah oleh moncong senjata, melainkan oleh disinformasi yang mengubah kebenaran menjadi opini bias dan opini bias ini menjadi kebenaran baru.

Rektor STISNU, Gus Fani, menyebut fenomena ini sebagai “penjajahan pikiran dan mental”. Pandangan itu sejalan dengan pemikiran Karl Marx, yang menyebut bahwa kesadaran manusia sering kali ditawan oleh struktur ideologi yang dibentuk oleh kekuasaan. Dalam konteks hari ini, penjajahan bukan lagi soal fisik, tetapi bagaimana pikiran dan emosi publik dikendalikan oleh algoritma dan kepentingan ekonomi digital

Hari ini, media sosial telah menjelma menjadi medan tempur anak muda yang terpolarisasi, bukan ruang percakapan yang membangun. Banyak anak muda terseret menjadi “tentara digital” yang tanpa sadar memperkuat polarisasi bangsa. Dalam konteks inilah, pesan Gus Fani agar pemuda menjadi “arsitek harmoni, bukan provokator perpecahan,” menjadi sangat relevan.

Kita sedang berada dalam masa ketika teknologi melahirkan “kebisingan sosial”. Suara-suara ekstrem menguasai ruang publik, sementara suara akal sehat tenggelam di antara algoritma yang memanjakan amarah. Ini adalah bentuk baru kolonialisme digital yang membuat generasi muda kehilangan kompas moral dan arah nasionalisme.

Sayangnya, Sumpah Pemuda selama bertahun-tahun lebih sering dirayakan secara seremonial. Upacara, pidato, dan lomba, tetapi minim refleksi substansial. Padahal, seperti ditegaskan Gus Fani, Sumpah Pemuda bukan slogan, melainkan ikrar spiritual.

Kalimat “Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa” adalah pernyataan eksistensial bahwa Indonesia berdiri bukan karena keseragaman, melainkan karena kesediaan untuk hidup bersama dalam perbedaan.

Jika spirit itu ingin dihidupkan kembali, maka generasi muda perlu berpindah dari romantisme sejarah ke praksis kebangsaan. Mereka harus menjawab tantangan zaman dengan literasi digital, daya kritis, dan etika sosial.

Dalam filsafat politik, pemuda selalu menjadi agen moral — kekuatan yang menegakkan kembali arah ketika negara tergelincir dalam pragmatisme. Di masa kolonial, mereka menyatukan bangsa. Di masa kini, mereka harus menyatukan kesadaran.

Desri Arwen menekankan pentingnya karakter dan etika sebagai benteng moral pemuda. Ini sejalan dengan konsep character building yang menjadi fondasi bangsa dalam pemikiran Ki Hadjar Dewantara: pendidikan bukan semata mencerdaskan otak, tetapi juga membentuk watak.

Di tengah arus globalisasi yang menggempur nilai-nilai lokal, etika dan kebangsaan menjadi dua hal yang tak boleh dilepaskan. Pemuda harus kembali menjadi kompas moral, bukan hanya pengikut tren.

Seruan kedua rektor itu pada dasarnya adalah ajakan untuk menghidupkan kembali Sumpah Pemuda sebagai energi sosial dan spiritual bangsa. Bukan sekadar upacara tahunan, melainkan gerakan intelektual dan moral.

Sumpah Pemuda harus diterjemahkan ke dalam konteks baru:

Satu Nusa adalah komitmen membangun ruang digital agar menjadi ruang keterbukaan pikiran, bukan polarisasi.

Satu Bangsa berarti menumbuhkan solidaritas lintas identitas, bukan sekadar demi persatuan semu, tetapi untuk membangun tatanan sosial yang lebih adil dan setara

Satu Bahasa berarti menuturkan keterbukaan pikiran, keberanian berdialog, dan kebijaksanaan dalam perbedaan.

Jika generasi 1928 menyatukan bangsa dengan darah dan semangat, maka generasi hari ini harus menyatukan bangsa dengan pikiran dan moralitas. Disrupsi tidak bisa dihindari, tapi bisa diarahkan.

Sebagaimana dikatakan Gus Fani, pemuda harus menjadi “pembawa cahaya di tengah kegelapan digital.” Di tengah derasnya arus informasi, hanya mereka yang memiliki kompas moral dan kesadaran kebangsaan yang akan mampu menavigasi masa depan.

Karena itu, tugas kita bukan hanya mengenang Sumpah Pemuda, melainkan menyalakan kembali apinya — di ruang digital, di ruang kampus, di ruang publik, dan di ruang batin juga pikiran kita masing-masing.

Warisi apinya bukan abunya.


baca juga : Membaca lagi Riset D.N Aidit, Tujuh Setan Desa: Mereka Tak Mati, Hanya Berganti Wajah

Penulis : Ari Sujatmiko

Editor : Redaktur

Berita Terkait

Jika Soeharto Pahlawan, Maka Jutaan Rakyat yang Menggulingkannya Adalah Penjahat di Mata Negara
Catatan Perjalanan Istimewa Ziarah di Makam Proklamator Kemerdekaan, Ir. Soekarno
Abuse of Power: Legalisasi Represifitas Aparat
Republikanisme: Sebuah Filosofis Politik yang dibonsai Oligarki
Makan Bergizi Gratis: Janji Bergizi, Realita Pahit
Mewujudkan Indonesia Emas 2045, Bonus Demografi dan Peran Strategis Daerah Otonomi Baru Tangerang Utara
Luka Demokrasi dari Tangan yang Seharusnya Melindungi
Revolusi Dimulai dari Berhenti Percaya pada Negara.
Berita ini 13 kali dibaca

Berita Terkait

Jumat, 7 November 2025 - 01:22 WIB

Jika Soeharto Pahlawan, Maka Jutaan Rakyat yang Menggulingkannya Adalah Penjahat di Mata Negara

Kamis, 30 Oktober 2025 - 21:39 WIB

Catatan Perjalanan Istimewa Ziarah di Makam Proklamator Kemerdekaan, Ir. Soekarno

Rabu, 29 Oktober 2025 - 00:21 WIB

Sumpah Pemuda, Tugas Baru Membebaskan Pikiran Bangsa.

Selasa, 28 Oktober 2025 - 18:33 WIB

Abuse of Power: Legalisasi Represifitas Aparat

Rabu, 15 Oktober 2025 - 12:02 WIB

Republikanisme: Sebuah Filosofis Politik yang dibonsai Oligarki

Berita Terbaru