Di tengah gegap gempita festival olahraga dan budaya Tangerang Multi Fest 2025, dua bocah perempuan dari Poris Gaga kecamatan Batuceper tampil mencuri perhatian. Mereka bukan penyanyi, bukan pula penari modern. Dengan gerakan lincah dan tatapan penuh semangat, keduanya menampilkan jurus silat beksi khas Betawi di atas panggung pertunjukan.
Nama mereka: Hafizah Khaira Zahra dan Azola Kholifia — dua pendekar cilik yang berhasil meraih Juara 1 kategori usia dini dalam pertunjukan silat tradisional.

Hafizah Khaira Zahra baru berusia sepuluh tahun, siswa kelas 4 SDN Poris Gaga 3, dan baru setahun belajar silat. Ia tergabung dalam Sanggar Putra Setia, di bawah asuhan Bang Andre, sosok yang ia sebut “guru sekaligus panutan.”
“Belajarnya baru setahun doang. Aku latihan malam Senin, malam Kamis, sama malam Sabtu,” ujar Hafizah usai menerima piala juara, dengan napas masih tersengal tapi wajah berseri.
Perjalanannya ke panggung juara justru dimulai dari hal sederhana. Ia mengenal silat dari gurunya di sekolah, yang mendorongnya untuk ikut latihan. Awalnya sekadar ikut-ikutan, tapi lama-lama, semangatnya tumbuh.
“Aku gak tau, aku cuma mau masuk silat. Tapi tiba-tiba pengen ikut lebih lama,” katanya polos.
Hafizah tak pernah mengira akan menjadi juara.
“Aku kira aku gak bakal juara, tapi ternyata juara. Senang banget,” ujarnya dengan tawa kecil.
Kini, setelah merasakan kemenangan pertamanya, Hafizah punya satu tekad:
“Mau juara lagi. Mau ikut lomba lagi,” katanya mantap.
Orang tuanya, kata Hafizah, sepenuhnya mendukung. Setiap kali ia pulang latihan dengan baju basah oleh keringat, sang ibu justru menyambut dengan bangga. Dukungan itu menjadi bahan bakar semangatnya untuk terus berlatih.
Tak jauh dari Hafizah, satu nama lain ikut bersinar di ajang yang sama. Azola Kholifia, siswa kelas 4 SDN Poris Gaga 2, juga berasal dari Sanggar Putra Setia. Ia mengikuti jejak Hafizah dan berhasil membawa pulang piala juara 1 usia dini.
Saat ditanya alasan ia memilih silat, Zola menjawab dengan polos tapi penuh keyakinan:
“Keliatannya cakep, gerakannya,” katanya sambil tertawa.
Ia belajar silat karena kemauan sendiri, bukan karena disuruh orang tua. Bahkan, ketika ditanya mengapa tidak mengikuti tren anak-anak zaman sekarang yang lebih suka joget di TikTok, ia menjawab tegas:
“Enggak.”
Zola berlatih di Gedung olahraga Batuceper dan gedung Kelurahan Poris Gaga, tempat Sanggar Putra Setia rutin mengadakan latihan. Bersama teman-temannya, ia berlatih dua hingga tiga kali seminggu di bawah bimbingan Bang Andre.
“Seneng banget bisa juara. Mamah juga bangga,” kata Zola dengan mata berbinar.
Sama seperti Hafizah, ia juga punya keinginan yang sederhana tapi kuat.
“Mau terus latihan, biar dapat juara lagi. Kalau ada lomba tingkat kota atau provinsi, aku mau ikut,” ujarnya mantap.
Sanggar Putra Setia di Poris Gaga kini menjadi wadah penting bagi anak-anak usia sekolah dasar untuk mengenal seni bela diri tradisional Betawi. Di bawah bimbingan Bang Andre, sanggar ini tak hanya mengajarkan jurus, tapi juga menanamkan nilai-nilai seperti disiplin, rasa hormat, dan kebanggaan terhadap budaya sendiri.
Dalam ajang Tangerang Multi Fest 2025, Sanggar Putra Setia mengirimkan beberapa peserta muda. Hafizah dan Zola menjadi yang paling menonjol, bukan hanya karena kemenangan mereka, tapi karena semangatnya yang tulus menjaga warisan budaya di tengah arus modernisasi.
“Anak-anak sekarang banyak yang sibuk main HP. Tapi kalau ada yang mau belajar silat, mau jaga budaya Betawi, itu patut kita banggakan,” kata Bang Andre, pelatih mereka.
Di saat teman-teman sebayanya sibuk menatap layar gawai, dua bocah Poris Gaga itu justru memilih menatap guru silat mereka. Saat yang lain menirukan tarian viral, mereka menirukan jurus beksi, mengulang langkah demi langkah hingga gerakannya rapi.
Bagi Hafizah dan Zola, silat bukan sekadar olahraga. Ini adalah cara mereka mengekspresikan diri, sekaligus bentuk sederhana dari cinta pada budaya sendiri.
Sorot mata mereka di atas panggung Tangerang Multi Fest 2025 adalah simbol perlawanan kecil terhadap zaman yang serba cepat dan serba digital. Dari tangan mungil mereka, warisan Betawi tetap hidup, berdiri tegak di tengah arus perubahan.
Dan mungkin, di antara tepuk tangan penonton sore itu, masa depan silat Betawi sedang tersenyum — lewat dua pendekar kecil bernama Hafizah Khaira Zahra dan Azola Kholifia, anak-anak yang membuktikan bahwa tradisi tak lekang oleh waktu.






